JAKARTA, KOMPAS – Pengobatan melalui metode radiofrekuensi dinilai efektif mengatasi penyakit trigeminal neuralgia atau nyeri misterius di wajah. Dibandingkan metode lain seperti operasi dan konsumsi obat-obatan, risiko komplikasi, kekambuhan penyakit, dan biaya pada radiofrekuensi lebih kecil.
Trigeminal neuralgia merupakan penyakit nyeri kronik di bagian wajah yang bersumber dari gangguan pada saraf trigeminus. Gangguan tersebut menyebabkan sensasi rasa nyeri di bagian wajah. Ketika mengalami kondisi ini, stimulasi kecil di wajah seperti sentuhan, tersenyum, atau aktivitas sehari-hari, misalnya menyikat gigi atau bersolek, akan mencetuskan terjadinya rasa sakit yang luar biasa.
“Trigeminal neuralgia dianggap sebagai salah satu nyeri terburuk yang dapat memengaruhi manusia,” kata dokter spesialis bedah saraf Brain and Spine Bunda Neuro Center Jakarta Heri Aminuddin dalam diskusi “Trigeminal Neuralgia, Nyeri Wajah yang Menyiksa” yang diadakan Klinik Nyeri dan Tulang Belakang di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Menurut Heri, penyakit ini termasuk langka. Berdasarkan data Neuro Surgical Atlas, prevalensinya di dunia sebesar 2,5 dari 100.000 orang untuk laki-laki dan 5,7 dari 100.000 orang untuk perempuan. Risikonya meningkat pada orang dengan usia di atas 50 tahun.
Meskipun langka, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng karena sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. “Periode remisi cenderung semakin pendek dari waktu ke waktu dan serangan rasa sakit seringkali lebih lama. Pasien mungkin memiliki sedikitnya tiga hingga empat atau sebanyak 70 serangan per hari,” katanya.
Heru Siswanto (52), pengidap trigeminal neuralgia di Jakarta, mengakui sangat menderita ketika nyeri pada wajahnya kambuh. Dia mulai mengalami nyeri wajah sejak 1,5 tahun lalu. Namun, dalam dua bulan terakhir, nyerinya semakin parah hingga dia berhenti dari pekerjaannya di salah satu perusahaan swasta.
“Rasa sakitnya hebat sekali. Saya sampai menangis ketika menahan sakitnya. Awalnya hanya kambuh sekitar 15 kali sehari. Belakangan, bisa kambuh sampai 30 kali. Durasinya 30-45 detik,” katanya.
Dokter spesialis bedah saraf Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Mahdian Nur Nasution mengatakan, pada otak manusia terdapat 12 pasang saraf yang jika terganggu akan menimbulkan masalah. Pada trigeminal neuralgia, saraf yang terganggu adalah saraf nomor 5 yang menimbulkan nyeri pada hidung, wajah, dan gigi.
Mahdian melanjutkan, trigeminal neuralgia disebabkan oleh tekanan pembuluh darah di sekitar saraf trigeminus di kepala dekat belakang telinga. Rusaknya selaput pelindung saraf (mielin), misalnya pada penyakit sclerosis multiple, atau proses penuaan juga bisa menjadi penyebab.
Pada beberapa kasus, trigeminal neuralgia, juga dapat disebabkan oleh kelainan pada otak akibat luka atau cedera, efek dari prosedur pembedahan, stroke, tumor yang menekan saraf trigeminus, atau trauma pada wajah.
“Nyeri umumnya muncul pada wajah bagian kanan bawah dibandingkan sisi lainnya. Risiko meningkat jika pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan sclerosis multiple,” ujarnya.
Radiofrekuensi ablasi
Untuk mengobati atau menghilangkan rasa sakit penderita trigeminal neuralgia, ada dua metode yang dilakukan, yaitu nonbedah dan bedah. Pada nonbedah, pasien mengonsumsi obat-obatan yang bisa mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Akan tetapi, pada kondisi tertentu, obat-obatan tidak lagi mempan mengatasi nyeri sehingga dilakukan metode bedah, mulai dari bedah terbuka hingga sayatan minimal (minimally invasive surgery).
Tindakan bedah yang dapat dilakukan, antara lain dekompresi pembuluh darah mikro (MVD), pisau gamma, dan prosedur perkutan. Prosedur perkutan terdiri atas tiga, yaitu percutaneous radiofrequency trigeminal gangliolysis (PRTG), percutaneous retrogasserian glycerol rhizotomy (PRGR), dan percutaneous balloon microcompression (PBM).
Namun, di antara berbagai tindakan tersebut, PRTG atau sering disebut radiofrekuensi ablasi dianggap paling efektif. Menurut Mahdian, risiko komplikasi pada teknik radiofrekuensi ablasi rendah, efektif mengatasi nyeri hingga 80 persen, dan tidak perlu bedah.
“Tindakan operasi, misalnya, berisiko komplikasi, terutama pada pasien usia lanjut atau pengidap penyakit kronis lainnya,” kata Mahdian. Teknik ini juga relatif lebih murah dibandingkan teknik lainnya, seperti operasi. Biaya radiofrekuensi ablasi sekitar Rp 18 juta, sedangkan biaya operasi bisa mencapai Rp 100 juta-Rp 150 juta.
Pada operasi, dokter bedah memisahkan saraf dari tekanan dan perlengketan dengan pembuluh darah yang menyebabkan nyeri. Dokter menempatkan bahan penyekat serabut teflon antara saraf dan pembuluh darah. Namun, pada radiofrekuensi ablasi, target yang disasar dokter adalah “sekring” saraf pada wajah (ganglion) dengan menyuntikkan jarum yang terhubung dengan generator radiofrekuensi.
“Prinsip pada radiofrekuensi ablasi, jarum mengalirkan gelombang untuk memblok pengantaran ‘listrik’ saraf sehingga sarafnya tidak bisa mengantarkan rasa nyeri,” katanya.
Manfaat teknik ini dibuktikan oleh Heru. Dua minggu lalu dia mengikuti radiofrekuensi ablasi. Setelah seminggu diterapi, nyeri mukanya beberapa kali kambuh. Namun, sejak minggu kedua, dia tidak lagi merasakan nyeri di wajahnya. “Semoga tidak kambuh lagi,” ujarnya. (YOLA SASTRA)