NEW YORK, KOMPAS—Pendanaan program penanggulangan penyakit tuberkulosis di Indonesia belum optimal. Aspek pendanaan jadi salah satu tantangan utama selain penemuan kasus dan pelaporan. Kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta dalam menjamin keberlanjutan pendanaan dinilai potensial, tetapi belum menemukan format tepat saat ini.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyampaikan itu di sela-sela Pertemuan Tingkat Tinggi dalam rangka Sidang Umum Ke-73 PBB di New York, Amerika Serikat, Rabu (26/9/2018). Hadir dalam acara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, serta Ketua Forum Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, profil program tuberkulosis (TB) Indonesia 2018 mencapai 294 miliar dollar AS. Itu bersumber dari anggaran domestik (34 persen), internasional (18 persen), dan selebihnya tak terdanai. Kesenjangan itu menandakan investasi dari pemerintah dan swasta amat dibutuhkan.
Investasi program TB tak bisa diabaikan karena TB juga berdampak pada perekonomian. Tuberkulosis yang dibiarkan akan menyebar, menurunkan produktivitas penduduk, dan berujung pada kematian. Kerugian ekonomi global akibat TB 1 triliun dollar AS tahun 2030. Target mengakhiri epidemi TB 2030 sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pun tidak akan tercapai.
Nila mengatakan, beban pengendalian TB tak bisa diserahkan hanya kepada pemerintah. ”Tidak mudah mengatasi TB karena penyakit disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis ini multideterminan. Karena itu, perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memperkuat pendanaan dan penjangkauan untuk memastikan TB jadi prioritas di daerah,” ujarnya.
Tidak mudah mengatasi TB karena penyakit disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis ini multideterminan.
Biaya sosial
Selain bersumber dari APBN, pendanaan program TB di Indonesia juga berasal dari Global Fund. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, biaya sosial dikeluarkan pasien TB saat berobat.
Obat TB disediakan gratis oleh pemerintah, tetapi pasien harus mengeluarkan ongkos menuju fasilitas kesehatan. Pekerjaan mereka terganggu selama enam bulan masa terapi sehingga mereka kehilangan pemasukan bagi keluarga. ”Hal ini perlu dipikirkan,” ujarnya.
Sementara Ketua Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro mengatakan, banyak pelaku usaha di Indonesia berminat membantu pemerintah menanggulangi TB. Namun, mereka ingin melihat penerapan program itu. ”Biaya per pasien selama terapi TB perlu dihitung agar memudahkan swasta berperan,” katanya.
Menurut Direktur WHO Regional Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh, penanggulangan TB tak bisa dilakukan dengan cara biasa. Swasta perlu terlibat untuk mempercepat pengendalian TB. Kegiatan yang bisa didanai, antara lain, inovasi dan riset untuk mempercepat diagnosis dan produksi vaksin.
Di dunia, tuberkulosis merupakan 1 dari 10 penyakit yang banyak diderita. Setiap tahun 1 juta orang terkena penyakit ini. Menurut Laporan Global TB 2018, 10 juta orang diperkirakan terkena TB pada 2017. Di Indonesia, pada 2017 diperkirakan 842.000 kasus baru TB, 53 persen dilaporkan dan dilayani fasilitas kesehatan. Hal itu menempatkan Indonesia di posisi ketiga negara penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China.