JAKARTA, KOMPAS—Kampoeng Hompimpa hadir di Pekan Raya Indonesia 2018 untuk memperkenalkan permainan tradisional bagi anak-anak. Permainan tradisional dinilai dapat mendorong anak lebih banyak beraktivitas fisik serta bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya.
Di depan Hall C Indonesia Convention and Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai (BSD) City, Tangerang, Jumat (28/9/2018), anak-anak berlarian, melompat-lompat, dan tertawa. Mereka memainkan berbagai mainan tradisional seperti egrang bambu, ketapel baling-baling, bakiak, parasut plastik, dan rantaian karet gelang untuk lompat tali. Beberapa juga bermain dakon, sepak bola kelereng, dan gasing. Semua mainan itu disediakan oleh komunitas Kampoeng Hompimpa.
Pengurus Kampoeng Hompimpa region Jakarta-Tangerang Iim Abdul Mun’im (22) mengatakan, sebagian besar mainan itu dibuat sendiri oleh anggota komunitasnya.
“Egrang, bakiak, arena gasing, itu kami bikin sendiri. Sepak bola kelereng juga. Tapi kalau ada event seperti sekarang, kami juga mempersiapkan diri dengan beli mainan,” kata Iim yang akan menjabat sebagai ketua region Jakarta-Tangerang mulai Oktober 2018.
Dalam kerja sama dengan penyelenggara Pekan Raya Indonesia (PRI), Kampoeng Hompimpa telah rutin membuka stan di PRI selama tiga tahun terakhir. Sejak PRI 2018 dibuka, Kamis (27/9/2018), ratusan anak telah mengunjungi stan Kampoeng Hompimpa.
Iim mengatakan, mainan tradisional Indonesia semakin terbenam di era digital. Karena itu, ia berharap, komunitasnya dapat melestarikan mainan dan permainan tradisional tanpa menolak perkembangan teknologi.
“Kami ingin memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada anak-anak, salah satunya dalam bentuk mainan dan permainan tradisional. Orang tua yang datang ke sini bisa flashback juga, mengingat mainan mereka waktu masih kecil. Jadi, orang tua bisa ikut mengedukasi anak-anak yang belum tahu kekayaan mainan tradisional,” kata Iim.
Bermanfaat
Salah satu pengunjung stan Kampoeng Hompimpa, Nathes (7) merasa senang bisa bermain ketapel baling-baling dan parasut plastik. Siswa kelas 2 SDK St. Ursula BSD itu tidak memiliki mainan itu di rumahnya. “Di depan sekolah enggak ada yang jualan. Jadi senang bisa main di sini,” kata Nathes yang datang bersama adiknya, Naya (4).
Psikolog anak Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani mengatakan, mainan motorik halus seperti dakon, bola bekel, dan kelereng maupun mainan motorik kasar seperti engkleng dan egrang dapat mengembangkan koordinasi motorik anak. Mainan-mainan tersebut juga mendorong anak untuk aktif bergerak sehingga membawa manfaat kesehatan fisik.
Di samping itu, permainan tradisional dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan bahasa anak. “Wawasan dan kemampuan berkomunikasi anak akan meningkat. Sedangkan, dari aspek emosional dan sosial, anak akan mengenali bermacam emosi, seperti senang, cemas, marah dan kesal,” kata Anna.
Dengan bermain mainan tradisional, anak juga akan mengenali akar budayanya. “Itu bermanfaat untuk membentuk identitas, konsep diri, kepercayaan diri, serta nasionalisme anak,” tambah Anna.
“Workshop”
Kampoeng Hompimpa juga mengadakan berbagai aktivitas lain. Pada Jumat sore, misalnya, diadakan kegiatan melukis layang-layang. Iim mengatakan, selama 10 hari kedepan akan ada kegiatan lainnya, seperti melukis gasing, membuat mainan dari janur, serta membuat mainan telepon dari kaleng dan tali.
Ika (38), ibu Nathes dan Naya memang sengaja membawa kedua anaknya ke stan Kampoeng Hompimpa untuk melukis layang-layang. Sebab, ia belum sempat mengajak Nathes dan Naya bermain layang-layang.
“Di pasar udah enggak ada yang jual layang-layang. Karena itu, saya dibawain layang-layang yang besar oleh saudara saya dari Bali. Eh, malah enggak bisa nerbangin,” kata Ika. Di samping itu, Ika mengajak kedua anaknya bermain di stan Kampoeng Halaman karena Nathes tidak bisa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler permainan tradisional di sekolahnya.
Tika (34) juga membawa putranya, Joel (4), untuk melukis layang-layang. “Saya kira ada workshop membuat layang-layang juga, tapi ternyata cuma melukis. Soalnya anak saya pengen tahu cara bikin layang-layang,” kata dia.
Meski demikian, menurut Tika, kegiatan yang ditawarkan Kampoeng Hompimpa membantu daya kreativitas serta kemampuan interaksi Joel. Ia membiarkan putranya melukis tanpa memberikan arahan, namun mengingatkannya untuk tidak terlalu menekan kertas layang-layang dengan kuas. Saat cat air habis, Tika juga mendorong Joel meminta sendiri cat tambahan kepada panitia.
Kurang SDM
Kampoeng Hompimpa dibentuk pada 2015 oleh tiga mahasiswa Universitas Surya, Tangerang, yaitu Muslih, Marcell, dan Miftah. Awalnya, proyek ini hanya ditujukan untuk memenuhi tugas perkuliahan, tetapi ketiganya memutuskan untuk melanjutkan Kampoeng Hompimpa. Komunitas tersebut kini telah ada di lima kota, termasuk Pontianak, Semarang, dan Yogyakarta.
Total anggota Kampoeng Halaman di lima kota mencapai sekitar 50 orang. Di region Jakarta-Tangerang, kata Iim, terdapat 10 anggota aktif. “SDM (sumber daya manusia) kami memang terbatas, harus dibantu volunteer kalau ada acara kayak sekarang,” kata Iim.
Salah satu sukarelawan, Ergita Purnama (21), yang juga teman kuliah seangkatan Iim, baru kali ini membantu kegiatan Kampoeng Hompimpa. Meskipun diajak Iim, ia tertarik menjadi sukarelawan karena suka bermain dengan anak-anak. Ia juga ingin mainan tradisional tetap bertahan seiring perkembangan mainan digital pada gawai.
Meskipun punya kekhawatiran yang sama dengan Kampoeng Hompimpa, ia belum berencana mendaftarkan diri sebagai anggota tetap karena kesibukan kuliahnya. Karena itu, ia berniat ikut serta dalam acara Kampoeng Hompimpa selanjutnya di Bintaro Exchange Mall, Tangerang Selatan, masih sebagai sukarelawan. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)