Ekspor jagung melonjak cukup tinggi tahun ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor jagung selama Januari-Juli 2018 mencapai 302.520 ton. Jika benar, angka itu 14 kali lebih banyak dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu yang tercatat 22.230 ton, atau 10 kali lebih dibandingkan semester I-2016 yang 27.870 ton, bahkan akumulasi ekspor sepanjang tahun 2016 dan 2017.
Angka produksi yang disampaikan Kementerian Pertanian pun cukup optimistis. Proyeksi produksi tahun ini mencapai 30,05 juta ton dan sepanjang Januari-Juli 2018 disebut telah tercapai 19 juta ton. Lompatan angka terus berlanjut. Sebab, tahun lalu produksi diklaim mencapai 28,9 juta ton, tahun 2016 mencapai 23,5 juta ton, dan tahun 2015 yang diklaim 19,6 juta ton.
Akan tetapi, situasi angka itu tak tercermin di lapangan. Peternak dan pabrik pakan “teriak” jagung langka dan mahal. Bukan turun, harga jagung di sejumlah sentra produksi pakan seperti Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur naik lima bulan terakhir. Di Banten, misalnya, harga jagung dengan kadar air 15 persen di gudang pabrik naik dari Rp 3.737 per kg jadi Rp 4.318 per kg selama kurun Maret-Juli 2018.
Sejak awal September 2018 bahkan sudah mencapai Rp 5.000-5.250 per kg. Jauh di atas harga acuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan 58 Tahun 2018 yakni Rp 3.150 per kg di tingkat petani dan Rp 4.000 per kg di pabrik pakan.
Padahal, kebutuhan jagung untuk 91 pabrik pakan di seluruh wilayah Indonesia hanya sekitar 651.000 ton per bulan atau 7,812 juta ton setahun. Artinya, jika benar data itu, produksi jagung semester I-2018 saja cukup untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan dua tahun berturut-turut. Pabrik pakan dan peternakan unggas merupakan penyerap dominan produksi jagung.
Sayangnya, klaim surplus produksi jarang terbukti selama ini. Pertengahan tahun lalu, perwakilan peternak dari Perhimpunan Insan Peternak Rakyat (Pinsar) Indonesia, Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), dan Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) mendatangi Kementerian Pertanian dan Perum Bulog untuk meminta jaminan ketersediaan jagung. Beberapa bulan sebelumnya, peternak dari sejumlah daerah juga berunjuk rasa di depan Istana Merdeka di Jakarta terkait kenaikan harga pakan, harga jagung, dan anjloknya harga jual hasil ternak.
Kini, situasi berulang. Sempat turun saat panen raya pada Maret-April 2018, harga jagung berangsur naik. Belakangan pasokannya semakin berkurang di pasaran. Rabu (26/9/2018), para peternak anggota Pinsar Jawa Tengah berunjuk rasa dengan membagi gratis 1.500 ekor ayam hidup di Pasar Jongke, Solo, sebagai bentuk protes atas naiknya ongkos produksi sekaligus anjloknya harga jual ayam. Menurut sejumlah peternak, harga ayam hidup hanya berkisar Rp 13.000-13.00 per kg di tingkat peternak, jauh di bawah ongkos produksinya yang Rp 18.000 per kg. Harga telur ayam juga turun dari Rp 19.000 per kg jadi Rp 15.300-15.700 per kg tiga bulan terakhir.
Kementerian Perdagangan memang berencana merevisi harga acuan telur dan daging ayam seiring naiknya ongkos produksi. Revisi akan berlaku mulai 1 Oktober 2018. Namun, seperti selama ini terjadi, harga acuan seringkali diabaikan pasar. Harga semata memenuhi hukum besi penawaran dan permintaan. Termasuk jagung yang harganya naik signifikan dua bulan ini.
Kritik atas lemahnya data pangan telah berulang disuarakan. Kisruh data juga telah berulang menjerumuskan antarpihak ke lubang kegaduhan. Akhirnya, keputusan untuk impor-tak impor pun jadi perdebatan tak berkesudahan.
Selain perbaikan data, pemerintah dinilai perlu menyinkronkan program pemacuan produksi jagung di hulu dengan pabrik pakan dan peternak di hilir. Kini, sentra produksi jagung dengan sentra pabrik pakan dan peternakan berjauhan sehingga harga jadi tak kompetitif.
Sebelum beringsut, sebaiknya selesaikan problem peternak, terutama pakan dan harga jual. Jika tidak, swasembada unggas bisa terancam.