Butuh Komitmen Kuat untuk Wujudkan Deklarasi Damai
JAKARTA, KOMPAS— Deklarasi kampanye damai seyogianya tidak hanya menjadi retorika di atas panggung kontestasi politik, tapi dilaksanakan dalam tindakan. Untuk mewujudkannya dibutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai elemen.
Hal itu mengemuka dalam acara bincang Satu Meja the Forum “Kampanye Damai, Komitmen atau Jargon?” yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (26/9/2018). Acara tersebut dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
“Deklarasi damai tidak akan punya makna selama tidak ada instrumen-intrumen ke bawah. Seharusnya ada perangkat operasional sampai tingkat bawah,” kata Hermawan Sulistyo, Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hermawan menambahkan, elemen yang tersentuh oleh deklarasi damai adalah pendukung masing-masing calon, sehingga yang dibutuhkan adalah instrumen yang mengajak mereka supaya tidak menyerang maupun memancing kekerasan politik.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum resmi membuka deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 pada Minggu (23/9/2018). Ada tiga butir ikrar deklarasi kampanye damai yang dibacakan, yaitu, peserta pemilu diminta untuk mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kedua, melaksanakan kampanye pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, ataupun politisasi isu sku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan politik uang. Butir ketiga adalah melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kompas.id, 23/9/2018)
Adanya deklarasi ini tidak cukup meredam emosi para pendukung, lanjut Hermawan, terutama konflik yang ditumbuhkan di media sosial justru akan semakin meluas di kehidupan nyata. “Karena tidak bisa dikontrol sehingga menimbulkan emosi. Saat bertemu di lapangan, maka kekerasan yang terjadi.”
Dalam kesempatan itu, hadir pula sebagai narasumber Inisiator Gerakan Pilpres Ceria Saifullah Yusuf, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago, dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ruhut Sitompul.
Saifullah bersama Mahfud MD, Faisal Basri, dan Ustaz Yusuf Mansur menjadi inisiator terbentuknya gerakan Pilpres Ceria. Gerakan itu muncul sebagai bentuk upaya untuk mewarnai dan membuat pemilu ceria. “Kami ingin meberikan suatu ajakan atau motivasi yang harapannya ditindaklanjuti masyarakat di tempat masing-masing.”
Menurut dia, jika pasangan capres-cawapres, partai politik, dan elite sudah berkomitmen untuk kampanye damai, maka gerakan ini untuk menggalang para pemilih dalam mengawal pilpres yang menggembirakan. Juga sebagai upaya untuk menyosialisasikan agar Pemilu 2019 tidak menegangkan, tapi ceria.
“Konflik-konflik yang muncul merupakan bagian dari dinamika kampanye, masyarakat akan semakin bisa menilai bagaimana mereka akan bersikap,” imbuh Saifullah.
Perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah dalam dinamika politik. Perbedaan itu sebaiknya bukan menjadi permusuhan, tapi justru saling mengisi. Kekhawatiran terbesar ditimbulkan oleh relawan yang bertindak sesuka hati, kekuatan mereka perlu dijaga agar tidak berlebihan dan menimbulkan konflik.
Riza mengatakan, masyarakat Indonesia sudah cerdas dan tidak mudah terprovokasi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah ketegasan aparat hukum untuk menindak setiap pelanggaran. Pemerintah sebaiknya berinisiatif mengambil kebijakan yang proaktif, misalnya, mendata semua akun di media sosial sehingga mudah untuk mengontrolnya.
Adapun, menurut Irma, Indonesia terlalu mahal harganya untuk dihancurkan dengan ujaran kebencian, fitnah, dan SARA. Setelah berkaca pada pilkada DKI Jakarta lalu, hendaknya memberikan pembelajaran agar tidak terulang kembali di Pilpres 2019.
“Masyarakat harus diingatkan kembali bahwa kemerdekaan Indonesia itu merupakan warisan yang wajib dijaga. Perbedaan itu jangan memecah-belah masyarakat hanya untuk kepentingan sesaat,” katanya.
(MELATI MEWANGI)