JAKARTA, KOMPAS — Pengguna angkutan umum berharap keamanan transportasi umum ditingkatkan agar mereka tidak menjadi korban copet dan jambret. Pemerintah diminta serius menangani aksi kejahatan di transportasi publik.
Warga Sawangan, Depok, Jawa Barat, Anggun (25), Rabu (26/9/2018), mengaku pernah kecopetan saat naik kereta listrik atau (KRL) jurusan Bogor menuju Depok dua bulan lalu. Di dalam kereta, penumpang tidak terlalu banyak dan ia mendapatkan tempat duduk. Saat ia akan turun di Stasiun Depok Baru, Anggun baru menyadari bahwa dompet beserta ponselnya tak ada lagi di dalam tas.
Pada saat itu juga, ia melihat retsleting tasnya sudah rusak. Ia melaporkan kejadian tersebut kepada Kepolisian Resor Metro (Polres) Depok. Hingga saat ini, belum ada kabar mengenai ponsel dan dompetnya. Anggun mengalami kejadian ini untuk kali kedua. Sebelumnya, Anggun juga kehilangan dompet dari kantong celananya ketika ia berada di KRL.
”Saya tidak tahu persisnya seperti apa sebab, saya masih menggunakan ponsel di kereta. Saat kereta berhenti di stasiun Bojong Gede, ada dua laki-laki naik dan duduk di kanan juga kiri saya. Saya curiga kepada mereka karena laki-laki yang ada di sebelah kanan mengajak berbicara saya. Saya merasa laki-laki di sebelah kiri sekali hingga dua kali memepet saya. Setelah itu di Stasiun Depok Lama, keduanya turun,” katanya.
Pascakejadian tersebut, kini Anggun lebih sering menggunakan transportasi daring. Ia mengatakan, transportasi daring dianggap lebih aman dibandingkan transportasi umum. Apabila terpaksa menggunakan transportasi umum, Anggun memilih tidak menggunakannya sendiri. Ia menganggap masih banyak copet yang berkeliaran di KRL. Anggun berharap pemerintah serius menangani aksi-aksi kriminal di KRL dan angkutan publik lainnya.
Berdasarkan pantauan Kompas, transportasi KRL yang padat membuat petugas keamanan kesulitan mengawasi aktivitas penumpang. Bahkan, jumlah petugas keamanan di dalam KRL masih sangat sedikit. Hanya ada satu petugas keamanan yang mengawasi dua-tiga gerbong.
Warga Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Tania (23), mengaku pernah melihat copet beraksi di KRL tujuan Bogor-Jakarta Kota. Tiga bulan lalu, Tania naik KRL pada pukul 18.00. Kondisi kereta sangat penuh dan berdesak-desakan.
Ada laki-laki mengenakan kemeja, bercelana kain katun, dan menggunakan masker naik di salah satu stasiun. Tania waspada karena gerak-geriknya mencurigakan.
Tidak lama kemudian, Tania melihat laki-laki itu merogoh kantong salah satu penumpang di sebelahnya. Tania tidak berani berteriak dan menegurnya, tetapi hanya berani memberi tahu temannya tentang aksi copet yang dilihatnya. Sebelum teman Tania memberitahukan kepada penumpang lain, pencopet sudah turun di stasiun berikutnya dan menghilang.
”Saya takut berteriak. Pencopet itu berdiri dekat dengan pintu KRL dan dia merogoh kantong orang di dekat tempatnya berdiri. Dia naik dari Stasiun Cawang dan turun di Stasiun Tebet. Saya melihat aksinya sangat cepat. Korbannya seorang laki-laki dan kehilangan ponsel,” kata Tania.
Serius
Kepala Humas Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Suyatno menceritakan, pascakejadian penjambretan yang menewaskan seorang perempuan, Warsilah (37), di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, polisi berusaha menekan aksi kejahatan di wilayah tersebut. Data Humas Polres Metro Jakarta Pusat, hingga Juni 2018 tercatat 22 pencurian dengan kekerasan di wilayah itu.
Psikolog Forensik Kasandra Putranto mengatakan, penyelesaian fenomena copet harus diselesaikan dari akar permasalahannya. Kasandra mengatakan, masalah utama para pencopet adalah masalah ekonomi.
Mereka melakukan tindakan tersebut karena desakan keluarga, lingkungan, dan kebutuhan sehari-hari. Salah satu cara adalah pemerintah bekerja sama dengan elemen masyarakat memberi pekerjaan yang tepat untuk warganya.
Pemerintah harus memberikan edukasi tepat kepada masyarakatnya. Saat ini, edukasi hanya berpusat pada sekolah dan sebaiknya pemerintah memberikan pendidikan informal di tingkat RT/RW. ”Perlu dukungan moral dan edukasi informal,” katanya. (JOHANNES DE DEO CC)