Pengelolaan Kota Konsep LVC Ideal Dikenalkan Dalam TOD
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Konsep mengenai pembagian nilai lahan (land value sharing atau land value capture/LVC) idealnya segera dikenalkan dan dibahas dalam pengelolaan perkotaan padat. Hal ini khususnya jika dikaitkan dengan pembangunan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) di Jabodetabek.
Pendekatan LVC merupakan kebijakan yang didasarkan pada asumsi bahwa publik mesti beroleh keuntungan dari kenaikan harga tanah menyusul investasi untuk kepentingan publik. Pembangunan infrastruktur transportasi publik merupakan salah satu jenis investasi untuk kepentingan publik tersebut.
Pakar tata kota dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, Suryono Herlambang, Selasa (25/9/2018), mengatakan, pada awalnya, TOD dan LVC merupakan dua konsep yang tidak berbarengan. Pada tahun 1990an, konsep TOD muncul di Amerika menyusul pembangunan yang cenderung menyebar secara acak (urban sprawl).
Karena itulah, muncul pemikiran untuk untuk memusatkan pembangunan ruang komersial, permukiman, perkantoran, dan sebagainya dengan orientasi pada sistem transportasi massal. Unit terkecil lingkungan dalam kota ini memiliki kunci utama berupa kedekatan dengan sistem transportasi massal yang bisa diakses hanya dengan berjalan kaki.
Pada tahap selanjutnya, konsep TOD dibawa ke sejumlah negara lain seperti Tokyo di Jepang dan Hongkong. Pada beberapa negara ini, imbuh Herlambang, terdapat kenyataan terkait kondisi lahan yang relatif sudah dibangun.
Lantas muncul konsep LVC, dimana pemerintah ingin mengambil kenaikan nilai lahan menyusul adanya pembangunan infrastruktur guna kepentingan publik. Pihak-pihak yang menikmati keuntungan menyusul kenaikan nilai lahan, dengan demikian mesti memberikan kompensasi ke pemerintah, atas nama publik.
“Sistem LVC kemudian berubah jadi land value sharing. (Pembangunan untuk kepentingan publik) Tidak hanya (dilakukan) pemerintah, tapi bisa atau tidak jika dibagi rata. Tidak hanya pemerintah, tapi bekerjasama dengan pihak lain. (Berdasarkan) Ini muncul hitung-hitungan investasi. Ini prinsip dasar,” sebut Herlambang.
Dalam konteks TOD, mekanisme LVC atau pembagian nilai lahan sebagai pengembangannya, mesti bisa dilihat sebagai metode win-win untuk menemukan bentuk ideal pelayanan dan keberpihakan pada kepentingan publik. Misalnya saja, satu kawasan stasiun yang ditetapkan sebagai wilayah TOD, mesti dihitung nilai kenaikan lahannya dengan detail dan menguntungkan semua pihak.
Jika di dalam stasiun tersebut ada bangunan empat lantai, maka setelah ditetapkan menjadi kawasan TOD bisa jadi bangunan tersebut akan memungkinkan ditingkatkan menjadi 30 lantai. Keputusan ini hanya memungkinkan jika pemerintah mengubah KLB (koefisien lantai bangunan) dengan kebijakan tertentu, misalnya dengan pelampauan.
Kebijakan mengubah KLB yang memungkinkan adanya kenaikan jumlah lantai maksimal bisa dibangun dalam wilayah TOD, yang mesti dihitung ulang kompensasinya. Kompensasi ini dibedakan dengan kewajiban untuk membayar pajak.
Herlambang mengatakan, solusi menang-menang yang diharapkan termasuk dengan menghitung secara rinci berapa kompensasi yang ideal sehingga pengembang juga masih bisa beroleh untung secara wajar. Selain itu, pembebasan tanah mesti dilakukan dengan melihat harga lahan di masa mendatang setelah konsep TOD berjalan.
“Pada sisi lain, pemerintah harus bisa menggunakan (kompensasi dari skema pembagian nilai lahan untuk) subsidi sistem transportasi publik,” sebut Herlambang. Pasalnya, jika semata-mata hanya mengandalkan investasi semata, maka biaya yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sistem transportasi publik akan relatif sangat mahal.
Menurut Herlambang, konsep-konsep tersebut mesti segera dikenalkan dan dibahas segera dengan seluruh pihak yang terkait. Pasalnya, setiap negara memiliki konteks yang berbeda-beda dan memerlukan skema berlainan terkait praktik konsep pembagian nilai lahan.
Khusus untuk Indonesia, imbuh Herlambang, Indonesia mesti melalui beberapa proses dan sejumlah persoalan yang mesti dibicarakan terkait dengan status lahan, konsolidasi tanah, pemahaman ihwal konsep pembagian nilai lahan, kepentingan publik, dan seterusnya. Hingga sejauh ini, konsep-konsep tersebut belum didudukan bersama guna beroleh pemahaman dan praktik yang ideal.
Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dwi Hariyawan saat dihubungi pada hari yang sama mengutarakan, hingga saat ini belum ada kebijakan terkait LVC (atau Land Value Tax/LVT dalam istilah Dwi) dari Kementerian ATR/BPN. Menurut Dwi, hingga sejauh ini cenderung belum ada pembicaraan lebih mendalam tentang LVT yang dilakukan Kementerian ATR/BPN .