JAKARTA, KOMPAS — Penurunan muka tanah di Jakarta terus berlanjut akibat ekstraksi air tanah secara besar-besaran tak diimbangi dengan pembuatan serapan air yang mencukupi. Perusahaan Air Minum harus didorong melebarkan layanan agar warga tak bergantung pada sumber air tanah.
Berdasarkan Data Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2015, kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 825 juta meter kubik per tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 496 juta meter kubik atau 60 persen kebutuhan air bersih diambil dari sumber air tanah.
Kepala Balai Konservasi Air Tanah Badan Geologi Kementerian ESDM Hendra Gunawan mengatakan, di kota metropolitan sebesar Jakarta, seharusnya ketergantungan pada air tanah tak boleh berlanjut. Namun, penggunaan air tanah terpaksa diperbolehkan karena Perusahaan Air Minum (PAM) belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga.
Merujuk pada data yang sama, PAM sebenarnya mampu memasok air bersih sebanyak 560 juta meter kubik per tahun. Namun, kebocoran (non-revenue water) sebesar 232 juta meter kubik menyebabkan PAM hanya mampu memasok 328 juta meter kubik kebutuhan air warga.
Penggunaan air tanah itu tak dianjurkan karena 80 persen air tanah di Jakarta tak memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan No 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Di Jakarta bagian utara, secara umum kandungan unsur besi, natrium, dan klorida lebih tinggi dari standar yang dianjurkan. Adapun di Jakarta bagian selatan, air tanah tercemar unsur mangan, besi, dan timbal.
Bahkan, ekstraksi air tanah secara masif di Jakarta bagian utara telah memicu terjadinya intrusi air laut. Indikasi itu dibuktikan dari sampel air sumur warga di Kelurahan Kamal Muara dan Kosambi yang berasa asin.
Jan Sopaheluwakan, peneliti geoteknologi yang pernah bekerja di LIPI, mengingatkan, ekstraksi air tanah secara berlebihan juga mempercepat penurunan muka tanah di Jakarta. Jika berlanjut, hal ini akan membuat sejumlah lokasi di Jakarta bagian utara berada di bawah permukaan laut.
Ekstraksi air tanah secara berlebihan juga mempercepat penurunan muka tanah di Jakarta. Jika berlanjut, hal ini akan membuat sejumlah lokasi di Jakarta bagian utara berada di bawah permukaan laut.
Mengutip penelitian Guru Besar Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Hasanuddin Abidin, Jan mengatakan, penurunan tanah di Jakarta bervariasi antara 1 sentimeter dan 28 sentimeter per tahun.
Penelitian yang ditulis Hasanuddin dan sejumlah peneliti lain pada 2011 itu menunjukkan penurunan muka tanah disebabkan empat faktor, yaitu ekstraksi air tanah, beban bangunan tinggi, konsolidasi alami lapisan tanah aluvial, dan aktivitas tektonik.
Dari tiga penyebab penurunan muka tanah itu, ekstraksi air tanah yang berlebihan merupakan penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta.
Hendra mengatakan, pada 2017, di Jakarta terdapat lebih dari 4.500 sumur produksi dengan kedalaman lebih dari 40 meter yang menyebabkan penurunan muka air tanah dan memicu amblesnya tanah di Jakarta.
”Kami sudah berusaha menertibkan ekstraksi air tanah oleh perusahaan yang melanggar Peta Konservasi Air Tanah,” ujar Hendra.
Berdasarkan peta itu, sebagian besar wilayah Jakarta bagian utara berada dalam level kritis dan rusak. ”Seharusnya di daerah rawan dan kritis itu sama sekali tidak boleh ada ekstraksi air tanah,” lanjut Hendra. (PANDU WIYOGA)