Ekonomi yang Ikut Terangkut di Stasiun
Ketika kereta berhenti di stasiun, bukan hanya penumpang yang terangkut. Perekonomian di sekitar stasiun pun turut meningkat. Siasat mesti diatur demi warga dan pengguna angkutan umum.
Mohammad Samsul (28), warga Kampung Cicentang, Kelurahan Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangerang Selatan, bercerita, kawasan di sekitar Stasiun Rawa Buntu sebelum tahun 2008 adalah persawahan dan kebun warga.
“Stasiun mulai ramai waktu rel ganda, sekitar tahun 2008. Mulai ada pemukiman juga di dekat sini. Orang-orang banyak mencari tanah di sekitar stasiun,” ujar Samsul.
Saat itu, Samsul mengatakan, banyak warga menjual lahan mereka. Ia ingat, ketika itu harga tanah masih Rp 60.000 per meter persegi. “Yang beli orang Bogor, orang Bekasi. Terus mulai satu per satu membuat tempat parkir sepeda motor atau mobil.”
Tampak di sekitar Stasiun Rawa Buntu, lebih kurang delapan tempat parkir sepeda motor atau mobil. Salah satu lokasi bahkan membuat lantai dua untuk sepeda motor. Tempat parkir itu kira-kira bisa menampung setidaknya 1.000 sepeda motor dengan sewa Rp 5.000 per motor sehari. Dari jasa penitipan sepeda motor saja, perputaran uang di situ mencapai Rp 5 juta sehari.
Para penyedia parkir pun berlomba memberi layanan plus untuk menyaingi tempat parkir di area stasiun. Tempat parkir sepeda motor di luar stasiun, misalnya, terlindung dari hujan, ada kamera pengintai, penitipan helm hingga layanan cuci sepeda motor. Layanan serupa itu tidak ada di area parkir stasiun.
Namun, banyaknya kendaraan juga membuat area stasiun semrawut terutama di jam sibuk. Selain keluar masuk kendaraan, banyak juga penumpang yang menunggu angkutan daring dan konvensional.
Dengan 40.000 penumpang per hari, Kepala Stasiun Rawa Buntu Aliyas mengakui, kemacetan tidak terhindarkan. Namun, pihak stasiun hanya dapat membantu pengamanan di kawasan stasiun, tidak bisa lebih jauh ke luar.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan pun mengaku kewalahan mengatur ruwetnya kawasan itu, terutama taksi dan ojek daring. “Tetapi hanya di jam-jam tertentu saja. Di luar itu lancar-lancar saja.”
Menurut Sukanta, kekacauan akan teratasi setelah Stasiun Rawa Buntu menjadi area Transit Oriented Development (TOD). Meskipun bakal lebih banyak orang karena ada hunian dan area komersial, Sukanta mengatakan, pergantian antarmoda akan lebih teratur dan ada tempat, terutama untuk bus dan angkutan kota. “Saat ini perizinannya (TOD) sudah masuk ke Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu.”
Bogor yang ruwet
Setali tiga uang. Stasiun Bogor yang melayani sekitar 1,4 juta penumpang per bulan pun mengundang warga mengadu peruntungan. Berbagai usaha mulai jasa penitipan kendaraan, ojek yang bisa masuk hingga area stasiun, hingga pedagang kaki lima terlihat kasat mata.
Pelanggaran lalu lintas jamak dan nyaris selalu dibiarkan aparat di simpang Lapas Paledang, atau jembatan penyebrangan orang (JPO) di situ. Angkot menurunkan penumpang di belokan persimpangan itu. Ini terjadi karena angkot tidak diharuskan menurunkan penumpang di halte yang berjarak sekitar 30 meter setelah persimpangan itu. Padahal di situ, penumpang bisa langsung ke mulut JPO. Halte justru jadi tempat ngetem angkot.
Selain itu, trotoar sekitar juga diokupasi PKL serta aneka bangunan termasuk pos petugas. Tidak heran, pejalan kaki memilih berjalan di badan jalan ketimbang di trotoar.
Kondisi JPO yang tinggi dan agak curam juga membuat pejalan kaki harus mengeluarkan tenaga lebih. Jelas, ini tidak ramah bagi warga lanjut usia, penumpang yang membawa barang atau koper, ibu hamil, balita, dan penyandang disabilitas. Trotoar dan JPO terasa sempit ketika lalu lalang orang berlipat di jam sibuk.
Trotoar yang mengelilingi stasiun pun memprihatinkan. Selain tidak rata, banyak batu atau ubinnya yang lepas dan hilang. Trotoar yang sejajar Jalan Mayor Oking, bahkan disulap jadi tempat menyimpan gerobak atau meja PKL.
Wali Kota Bogor Bima Arya menegaskan, pihaknya segera merevitalisasi kawasan Stasiun Bogor. Revitalisasi ini salah satu prioritas utama.
Revitalisasi Stasiun Bogor diperkirakan baru terwujud dua tahun mendatang. Itu juga kalau pembangunan fisik berikut segala fasilitas yang dijanjikan terbangun sesuai rencana. Kalau tidak, pengguna jasa KRL serta warga Bogor tetap harus berjejalan saat mengakses stasiun, seperti saat ini.
Peningkatan lingkungan
Meningkatnya perekonomian di sekitar stasiun idealnya juga diikuti dengan penataan kawasan lewat konsep pembagian nilai lahan (land value sharing atau land value capture/LVC).
Pakar tata kota dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, Selasa, mengatakan, pada awalnya, konsep LVC mengakomodasi keinginan pemerintah untuk mengambil keuntungan dari kenaikan nilai lahan guna kepentingan publik. Pihak yang menikmati keuntungan dari kenaikan nilai lahan, mesti memberikan kompensasi ke pemerintah atas nama publik.
“Sistem LVC lalu berubah jadi land value sharing. (pembangunan untuk kepentingan publik). Tidak hanya pemerintah, tapi bekerja sama dengan pihak lain. Berdasarkan ini, muncul hitung-hitungan investasi. Ini prinsip dasar,” sebut Herlambang.
Jika di dalam stasiun ada bangunan empat lantai, maka setelah menjadi kawasan TOD bisa jadi bangunan memungkinkan ditingkatkan menjadi 30 lantai. Keputusan ini memungkinkan jika pemerintah mengubah KLB (koefisien lantai bangunan) dengan kebijakan tertentu, misalnya dengan pelampauan. Bersamaan dengan ini, muncul kompensasi yang harus dibayarkan pengembang. Kompensasi ini dibedakan dengan kewajiban untuk membayar pajak.
“Pada sisi lain, pemerintah harus bisa menggunakan (kompensasi dari skema pembagian nilai lahan untuk) subsidi sistem transportasi publik,” sebut Herlambang. Pasalnya, jika semata-mata mengandalkan investasi, maka biaya untuk mengoperasikan sistem transportasi publik akan relatif sangat mahal.
Menurut Herlambang, konsep-konsep tersebut mesti segera dikenalkan dan dibahas segera dengan seluruh pihak terkait. (PIN/INK)