A Tony Prasetiantono -- Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
·5 menit baca
Akhir pekan lalu, rupiah sempat menguat dalam 3-4 hari berturut-turut, sehingga memberi angin segar dan harapan bahwa Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate pada pertemuan Dewan Gubernur BI pekan ini. Namun, Senin (24/9/2018), dollar AS tiba-tiba kembali menguat terhadap hampir seluruh mata uang, termasuk rupiah.
Rupiah diperdagangkan pada Rp 14.867 per dollar AS. Di antara negara-negara Asia, dollar AS menguat terhadap rupiah 0,36 persen, atau lebih baik daripada won Korea (0,46 persen), namun lebih lemah daripada rupee (0,31 persen), baht dan dollar Taiwan (0,22 persen), peso Filipina (0,18 persen), yuan China dan ringgit (0,15 persen), serta dollar Singapura (0,14 persen). Dollar AS stagnan terhadap dollar Hongkong dan yen.
Ada analisis yang menyebutkan, kenaikan dollar AS kali ini disebabkan intensitas perang dagang Amerika Serikat-China yang meningkat, serta proses eksekusi Brexit, yakni bercerainya Inggris dari Uni Eropa. Dampaknya, investor global cenderung bermain aman dengan “memegang” aset berdenominasi dollar AS. Namun, saya duga masih ada satu lagi penyebabnya, yakni rapat bank sentral AS, The Fed, pekan ini (25-26 September 2018) yang kuat diduga akan menaikkan suku bunga.
Presiden AS Donald Trump sebenarnya tidak ingin suku bunga dinaikkan, karena menimbulkan dampak apresiasi dollar AS yang kemudian merepotkan daya saing produk-produk AS. Namun, The Fed tampaknya akan melanjutkan rencananya.
Mengapa? Pertama, inflasi AS saat ini 2,7 persen (Agustus). Level ini sudah membaik daripada sebelumnya 2,9 persen (Juni-Juli). Namun, itu belum cukup baik, karena inflasi yang dianggap pas untuk AS adalah “sekitar 2 persen”. Oleh karena itu, suku bunga perlu dinaikkan lagi, untuk memberi tekanan lebih lanjut terhadap laju inflasi.
Kedua, data perekonomian AS belakangan ini tampak impresif. Pertumbuhan ekonomi 2018, berdasarkan kinerja triwulan II-2018, bakal mencapai 4,2 persen. Angka ini merupakan level pertumbuhan tertinggi sejak 2014. Data ini juga didukung data lain, yakni penyerapan tenaga kerja baru yang mencapai 201.000 pada Juli 2018. Sejak Januari, data penciptaan lapangan pekerjaan AS sungguh sangat baik, antara 147.000 hingga 324.000. Pengangguran AS kini rendah, cuma 3,9 persen.
Kedua data impresif ini serta merta bisa menaikkan kepercayaan diri investor untuk “memegang” dollar AS. Di sisi lain, juga menaikkan keyakinan The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 2 persen. The Fed perlu segera melalukan “normalisasi” suku bunga, karena suku bunga acuan masih lebih rendah daripada inflasi. Situasi suku bunga riil negatif 0,7 persen ini dianggap tidak adil bagi para penabung.
Dengan konfigurasi semacam itu, maka estimasi terbaik bagi rapat The Fed pekan ini adalah menaikkan suku bunga. Seperti biasa, pasar mulai bereaksi sebelum The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya. Oleh karena itu, pilihan terbaik bagi BI adalah menaikkan suku bunga acuannya, agar tak terlalu tertinggal dari The Fed.
Suku bunga acuan terendah The Fed selama ini 0,25 persen, kini 2 persen, dan sebentar lagi 2,5 persen. Sementara, suku bunga acuan terendah BI adalah 4,25 persen dan sekarang 5,5 persen. Artinya, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya 1,75 persen, sedangkan BI baru 1,25 persen. Dengan kata lain, BI sebenarnya belum sepenuhnya mendahului kurva atau ahead of the curve, sebagaimana diinginkan Gubernur BI Perry Warjiyo. Suku bunga BI masih agak tercecer (ketinggalan) dibandingkan dengan The Fed.
Faktor inilah yang bisa menjelaskan, kenapa nilai tukar rupiah tempo hari sempat menyentuh Rp 15.000 per dollar AS, yang dianggap bukan level semestinya. Rupiah dianggap terlalu murah (undervalued). Pada saat krisis 1998, rupiah yang terlalu murah mengundang manfaat berupa kenaikan ekspor dan penurunan impor, sehingga neraca perdagangan surplus.
Tidak elastis
Namun, situasi sekarang berbeda. Rupiah melemah tidak serta merta menaikkan surplus karena kombinasi tiga hal. Pertama, ekspor kita tidak elastis terhadap perubahan nilai tukar, karena banyak yang berupa komoditas primer. Kedua, pada saat yang sama, mata uang lain juga terdepresiasi (termasuk para kompetitor), sehingga harga produknya sama-sama kian murah. Ketiga, defisit migas kian lebar karena produksi minyak kita terus menurun (di bawah 800.000 barrel per hari), sedangkan harga minyak dunia naik (77 dollar AS per barrel).
Kenaikan suku bunga acuan BI sesungguhnya tidak diinginkan. Kebijakan ini berisiko menggagalkan upaya Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong ekspansi kredit melampaui 10 persen. Begitu pula kredit bermasalah (NPL) diperkirakan akan naik di atas 3 persen.
Namun, itulah “harga” yang harus dikeluarkan sebagai upaya stabilisasi rupiah. Dibandingkan dengan biaya untuk memproteksi rupiah pada saat krisis 1998, biaya ini jauh lebih murah. Atas saran Dana Moneter Internasional, BI pernah menaikkan suku bunga deposito bank-bank umum hingga 60-70 persen, yang berakibat insolvency dan kebangkrutan.
Jika suku bunga The Fed terus dinaikkan dan tahun depan mencapai 3,25 persen, maka kemungkinan BI juga akan meresponsnya dengan menaikkan suku bunga hingga 6,5 persen. Namun jika inflasi AS bisa berkurang secepatnya, misalnya mendekati 2 persen, bisa jadi The Fed urung menaikkan suku bunganya secepat itu. Suku bunga The Fed maksimal mungkin hanya 2,75 persen, sehingga suku bunga BI maksimal juga hanya 6 persen. Inilah level yang akan menjadi suku bunga “normal baru”.
Perbedaan mendasar lain adalah industri perbankan sebagai jantung perekonomian telah berubah wajah. Pada 1998, semua bank terkapar dan harus diinjeksi modal baru Rp 650 triliun, sedangkan kini hampir semua bank sehat, bahkan yang tersehat mampu membukukan laba fantastis antara Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun. ***
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM