Integrasi Antarmoda Masih Jadi Soal
Kemudahan akses antarmoda bagi pengguna kereta komuter masih menjadi sorotan. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk memudahkan pengguna angkutan umum mencapai tujuan.
JAKARTA, KOMPAS - Bagi sebagian pengguna KRL, akses untuk sampai ke stasiun masih menjadi persoalan tersendiri. Soal integrasi ini perlu segera dibenahi seluruh pihak terkait.
Euis Sarita (55), warga Serpong, terengah-engah saat menaiki anak tangga di Stasiun Serpong, Senin (24/9/2018) siang. Dengan persendian kaki kiri yang sakit, ia harus menapaki satu per satu anak tangga. Stasiun ini tidak memiliki eskalator dan lift.
Di sisi lain, Euis yang mengunjungi kerabat di Tigaraksa ini juga memiliki pilihan terbatas menuju Stasiun Serpong, yakni dengan angkot. Jalan menuju stasiun pun masih berupa tanah dan bebatuan yang belum diaspal.
Di banyak stasiun di Bodetabek atau Lebak, angkot menjadi pilihan angkutan umum dari stasiun ke tempat tujuan, atau sebaliknya. Tidak jarang, pelayanan angkot ini masih seadanya.
Opsi lain adalah ojek dan taksi, baik berbasis aplikasi maupun konvensional. Di beberapa stasiun, antrean ojek atau taksi ini kerap mengular atau memakan badan jalan sehingga menimbulkan kemacetan. Tak jarang, deretan sepeda motor atau mobil yang mengantar atau menunggu penumpang ini mengganggu akses pejalan kaki di trotoar maupun saat menyeberang jalan.
Pemandangan seperti ini terlihat di Stasiun Pondok Ranji, Jurangmangu, Rawa Buntu, Palmerah, serta Tangerang. Angkot, taksi, dan ojek berderet tidak teratur. Kemacetan terjadi di sekitar pintu stasiun.
Di Stasiun Daru dan Tigaraksa—keduanya di Kabupaten Tangerang—pengguna angkot menuju Tigaraksa dan sekitarnya, harus berjalan kaki sekitar 200 meter menuju jalan raya. Angkot pun kerap ngetem menunggu penumpang penuh.
Di kedua stasiun itu, penumpang angkutan daring harus terlebih dulu diantar ojek konvensional sampai ke pangkalan ojek daring yang berjarak sekitar 1 km dari stasiun. "Ojek daring boleh antar penumpang ke Stasiun Daru dan Tigaraksa, tetapi enggak bisa angkut penumpang dari sana," kata Aryadi, pengemudi ojek daring, Kamis.
Hal itu, menurut Aryadi, menjadi keputusan dari pengojek di pangkalan itu, dua pekan lalu.
Park and ride
Kepala Dinas Perhubungan Tangerang Selatan Sukanta mengakui, kemacetan di sekitar stasiun di antaranya karena area park and ride minim.
“Salah satu upaya untuk mengurangi kemacetan adalah bekerja sama dengan jajaran terkait untuk antisipasi agar tidak menimbulkan kemacetan yang lebih parah lagi,” kata Sukanta.
Ia mengatakan, Pemkot Tangsel memiliki Bus Anggrek yang menghubungkan stasiun dengan pusat kota. “Bus Anggrek ini masih berfungsi. Cuma karena jumlahnya baru lima unit, makanya pengoperasiannya lambat.”
Keruwetan lalu lintas juga terjadi di Kota Bekasi. Di Stasiun Bekasi, lahan kosong yang ada disebelahnya dipergunakan untuk berbagai angkutan umum lanjutan. Setengah dari lahan ini digunakan sebagai lahan parkir sepeda motor dan mobil.
Pintu keluar lahan tersebut menyatu dengan pintu samping Stasiun Bekasi.
Idealnya, penumpang bisa mendapatkan angkutan lanjutan dengan cepat. Namun, maraknya pedagang kaki lima di sekitar angkutan umum ini menyulitkan penumpang berjalan kaki.
Pejalan kaki dan kaum disabilitas juga kesulitan mengakses Stasiun Bekasi. Trotoar di sekitar stasiun ini lebarnya hanya 1 meter. Beberapa bagian trotoar rusak dan berlubang cukup dalam.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Yayan Yuliana mengatakan, integrasi antarmoda di Stasiun Bekasi masih terkendala kedisiplinan pengemudi. Mereka kerap menunggu penumpang tidak di lokasi yang ditetapkan. Akibatnya, penumpang sulit mencari angkutan umum lanjutan. Lalu lintas di sekitarnya pun macet.
“Ke depan, kami akan meningkatkan penegakan hukum untuk para pelanggar,” ujar Yayan. Dia mengakui, belum ada hukuman tegas terhadap pelanggar, kecuali teguran.
Menurut Yayan, dalam jangka pendek, penegakan hukum merupakan langkah yang paling mungkin dilakukan. Pembenahan sistem integrasi antarmoda belum direncanakan lagi.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki, menyebutkan, untuk membuat penumpang nyaman mengakses kereta komuter, perlu dipikirkan layanan angkutan lanjutan yang memudahkan penumpang. Ia melihat, layanan angkutan umum dari permukiman menuju stasiun dan sebaliknya penting diadakan. "Itu bisa dikerjasamakan dengan pemerintah daerah setempat," katanya.
Baru beberapa stasiun
Harno Trimadi, Direktur Prasarana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), mengatakan, integrasi antarmoda baru terjadi di beberapa stasiun, seperti Palmerah.
Di Stasiun Palmerah, pengguna KRL bisa melanjutkan perjalanan dengan bus transjakarta ke sejumlah tujuan yakni Bundaran HI, Bundaran Senayan, Pasar Kebayoran, dan Grogol. Begitu juga dari arah sebaliknya.
Namun, Harno menyontohkan, penumpang kereta dari Bogor atau Depok yang turun di Stasiun Cawang masih harus berjalan jauh untuk bisa mengakses bus transjakarta.
Tentang integrasi, lanjut Harno, PT KAI Commuter Indonesia (KCI) harus ikut memikirkan kemudahan penumpang untuk mengakses angkutan umum lanjutan atau untuk berjalan kaki.
Wibowo, Kepala Humas PT Transportasi Jakarta, mengatakan, integrasi ada di sejumlah stasiun seperti Stasiun Juanda, Manggarai, Kalibata, Tanah Abang, dan Kota.
VP Komunikasi PT KCI Eva Chairunisa mengatakan, koordinasi dengan pihak terkait dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan penumpang akan angkutan lanjutan.
Angkutan yang terkoneksi di stasiun terbukti menaikkan jumlah penumpang, baik pengguna KRL maupun transjakarta. "Contohnya di Stasiun Tebet. Setelah integrasi dengan transjakarta, tercatat 878.530 penumpang KRL per bulan. Pada Januari 2017, jumlahnya masih 778.847 penumpang," katanya.
Sayangnya, akses keluar-masuk penumpang di Stasiun Tebet mulai terhalang pedagang kaki lima. Sebagian dari mereka berjualan makanan sekaligus memasaknya di lokasi, seperti pedagang gorengan. Ini, menurut Eva, memiliki persoalan keamanan dan keselamatan bagi penumpang serta perjalanan KRL.
"Kami sudah menyampaikan masalah ini ke pihak terkait."
(NIA/RTS/UTI/HLN/ART)