Hutan Kian Sunyi di Tangan Penguasa Rimba
Terobosan baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2018 ternyata hanya seusia jagung. Kebijakan yang membuka harapan terdengar kembali nyanyian merdu burung-burung di hutan itu kini pupus.
Pada 20 September 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 92 Tahun 2018 yang merevisi Permen LHK Nomor 20/2018 tersebut. Intinya, KLHK mengeluarkan lima jenis burung dari daftar dilindungi seperti awal tercatat dalam Permen LHK Nomor 20/2018.
Tiga jenis di antaranya adalah burung penyanyi yang umum dilombakan dalam perlombaan kicau, yaitu cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), dan murai batu/kucica hutan (Kittacincla malabarica). Dua lagi adalah burung anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha) dan anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) yang bukanlah jenis burung lomba kicau dan belum ditangkarkan.
Permen LHK Nomor 20/2018 memang awalnya disebut-sebut sebagai terobosan dan ”pecah telur”. Ini mengingat selama ini daftar tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya mengandalkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Daftar lama yang telah berusia hampir 20 tahun itu sudah sangat tertinggal. Berbagai ancaman perburuan, deforestasi, dan degradasi hutan yang terus dan masih terjadi hingga kini membuat berbagai penghuni hutan terancam, termasuk berbagai jenis burung.
Catatan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pembahasan intensif untuk memperbarui daftar tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilindungi mulai tahun 2015/2016. Dasarnya menggunakan draf yang dihimpun peneliti LIPI sejak tahun 2006.
Secara resmi pada 28 April 2017—sesuai aturan main PP 7/2018—LIPI sebagai lembaga otorita ilmiah menyerahkan rekomendasi 562 jenis burung untuk dilindungi. Hampir setahun kemudian, 8 Maret 2018, KLHK melalui Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati menyurati LIPI untuk meminta tambahan TSL yang dilindungi.
Atas dasar perubahan taksonomi dan sistematika burung, pada 4 Mei 2018 LIPI menjawab ”tantangan” itu dengan merekomendasikan perlindungan atas 564 jenis burung. Atas rekomendasi inilah, Menteri Siti Nurbaya dengan menerbitkan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018 pada 29 Juni 2018 meski tak memasukkan burung opior bulu (Madanga ruficollis) dan burung paok (Pitta novaeguineae) yang merupakan jenis endemis terbatas.
Di sisi lain, kebijakan ini mendapat penolakan dari para pedagang dan penangkar burung serta penghobi burung yang mengancam akan menggoyang Manggala Wanabhakti serta menggelar unjuk rasa di sejumlah kota. Pada 14 Agustus 2018, unjuk rasa itu berlangsung di Manggala meski tak besar-besaran seperti yang diancamkan mereka dengan dalih permintaan Polri untuk tidak ada demo sebelum dan saat penyelenggaraan Asian Games 2018.
Kebijakan ini mendapat penolakan dari para pedagang dan penangkar burung serta penghobi burung yang mengancam akan menggoyang Manggala Wanabhakti serta menggelar unjuk rasa di sejumlah kota.
Mereka keberatan dengan Permen LHK Nomor 20/2018 karena mengganggu dapur kenyamanan mereka yang meraup pundi-pundi dari bisnis kicau burung yang perlombaannya sampai ke tingkat Piala Presiden ini. Mereka mengklaim telah berhasil menangkarkan jenis-jenis burung berkicau yang dilindungi, seperti cucak rawa, murai batu, dan jalak suren. Dengan status dilindungi, mereka enggan mengurus izin penangkaran beserta birokrasi pendataan dan ”biaya lebih” sebagai konsekuensinya.
Terkait hal ini sebenarnya Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK pada 16 Agustus telah memberikan jalan tengah untuk menerapkan masa transisi pelaksanaan Permen LHK Nomor 20/2018. Bahkan, ia menjamin peraturan tidak berlaku surut dan akan menindak tegas jajarannya yang memanfaatkan Permen LHK Nomor 20/2018 untuk ”mengambil untung” dari para penangkar.
Namun, tanpa diduga-duga, KLHK malah menyerah dan menyatakan akan merevisi dan mengeluarkan burung cucak rowo, murai batu, dan jalak suren dari daftar perlindungan. Pada 20 Agustus dan 5 September 2018, LIPI berusaha menguatkan posisi menteri dengan menyodorkan sejumlah fakta, riset, dan peta distribusi burung yang menguatkan Permen LHK Nomor 20/2018.
Populasi menurun drastis
Puslit Biologi LIPI menunjukkan bahwa hutan-hutan di sejumlah wilayah di Indonesia kian sepi karena tidak lagi ditemui ketiga jenis burung tersebut. Hasil survei peneliti LIPI pada periode 2001-2014 di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan tak satu pun dijumpai burung cucak rawa dan jalak suren di lapangan serta murai batu populasinya kian menurun drastis.
Hasil survei peneliti LIPI pada periode 2001-2014 di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan tak satu pun dijumpai burung cucak rawa dan jalak suren di lapangan serta murai batu populasinya kian menurun drastis.
Burungnesia pun memiliki catatan senada dengan catatan LIPI. Burungnesia pada periode 2016-2018, 1.300 relawan pengamat burung telah mengunjungi 1.772 lokasi di Jawa, 260 lokasi di Kalimantan, dan 277 lokasi di Sumatera, hanya ditemukan 15 ekor kucica hutan di 11 lokasi, 4 (empat) ekor jalak-suren Jawa di tiga lokasi, dan tidak ditemukan cucak rawa.
Sayangnya, masukan dari Puslit Biologi LIPI ini tak berpengaruh. Per 30 Agustus 2018, Siti Nurbaya telah menandatangani Permen LHK Nomor 92/2018 yang merevisi Permen LHK Nomor 20/2018. Isinya tak hanya mengeluarkan ketiga burung berkicau dari daftar dilindungi, tetapi juga menarik keluar burung anis bentet kecil dan anis bentet sangihe.
Anis-bentet kecil memiliki beberapa anak-jenis dengan sebaran terbatas dan endemis di pulau-pulau kecil di Papua dan Papua Barat. Adapun anis-bentet sangihe merupakan jenis endemis yang hanya bisa ditemukan di Pegunungan Sahendaruman di Pulau Sangihe dengan populasi 92-255 ekor (2009) sehingga berstatus critically endangered.
Dalam siaran pers resmi yang berisi informasi dikeluarkannya ketiga burung berkicau—tak menyinggung bahwa dua jenis lagi dikeluarkan dari daftar—KLHK mengambil pertimbangan sosial, ekonomi, dan kesuksesan pembudidaya sebagai dalih. Sebagai informasi, aturan main dalam PP No 7/1999, penetapan TSL dilindungi hanya mematok kriteria perlindungan didasarkan pada populasi kecil, populasi menurun tajam, dan daerah penyebaran terbatas. Bukan dengan menambahkan banyaknya penangkaran, penghobi, dan lomba/kontes pada perlindungan burung seperti tertulis dalam Permen LHK Nomor 92/2018.
”Sangat disayangkan kalau KLHK sebagai otoritas manajemen terpaksa melakukan revisi karena tekanan sebagian kecil masyarakat, khususnya pengusaha, pedagang, dan penghobi. Data ilmiah dan pertimbangan ilmiah perlu diutamakan dibanding pertimbangan kebutuhan yang tidak darurat,” kata Kepala Puslit Biologi Witjaksana dalam jawaban tertulis.
Sangat disayangkan kalau KLHK sebagai otoritas manajemen terpaksa melakukan revisi karena tekanan sebagian kecil masyarakat khususnya pengusaha, pedagang, dan penghobi.
Secara terpisah, Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), yang terdiri dari 150 organisasi/lembaga dan 44 perorangan di seluruh Indonesia, Jumat (21/9/2018), menyatakan kecewa, prihatin, keberatan, dan memprotes keras revisi Permen LHK Nomor 20/2018.
Klaim kesuksesan pembudidayaan burung-burung berkicau tersebut masih diragukan. Mereka menyodorkan fakta pada 27 Agustus 2018 dan 8 September 2018 terjadi penyelundupan satwa liar dari Kumai, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur yang digagalkan Balai Besar Karantina Pertanian dan Polair Polda Jawa Timur.
Total satwa yang disita sebanyak 451 ekor, terdiri dari 109 ekor kucica hutan/murai batu, 278 ekor cucak hijau, 26 ekor cucak jenggot, dan 17 ekor tledean/sikatan. Fakta terbaru ini mengindikasikan masih adanya jenis-jenis burung berkicau yang ditangkap dari habitat alamnya.
Menurut FKBI, kekhawatiran para pebisnis, penangkar, dan pemilik burung berkicau yang dilindungi terhadap bisnisnya tidak cukup beralasan. Dicontohkan burung curik bali/jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang dilindungi juga tetap memungkinkan untuk ditangkarkan tanpa mengganggu populasi alaminya di Taman Nasional Bali Barat.
Karena itu, jalan keluar bagi perekonomian masyarakat sudah tepat melalui ”penangkaran” dan pemerintah dan peneliti bisa membantu masyarakat yang tertarik berusaha di situ. Persoalan birokrasi yang sulit dan mahal serta ”banyak pungutan” seperti yang dikeluhkan pembudidaya merupakan tantangan lain.
Substansinya: populasi di alam harus dilindungi dan tidak boleh lagi dilakukan pengambilan dari alam. Dan ini butuh ketegasan dan pengelolaan dari pemerintah serta aparat terkait. Ini bila ingin hutan kembali marak dengan kicau burung.