Fanatisme Bukan Alasan untuk Membenci
Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, penuh sesak oleh pendukung Persib Bandung dan PSMS Medan, Sabtu (23/2/1985). Sejumlah penonton sampai ”tumpah” ke pinggir lapangan demi menyaksikan laga final kompetisi sepak bola nasional Perserikatan tersebut.
Stadion yang saat itu berkapasitas sekitar 120.000 penonton tidak bisa menampung animo pendukung kedua tim. Jumlah penonton pada duel klasik itu diperkirakan mencapai 150.000 orang.
Pertandingan tersebut ibarat laga ulangan final kompetisi yang sama dua tahun sebelumnya. Saat itu, anak-anak Medan menaklukkan perlawanan skuad ”Maung Bandung” lewat adu penalti dengan skor 3-2.
Di final Perserikatan 1985, kedua tim bermain imbang 2-2 hingga babak perpanjangan waktu. Penentuan juara pun kembali harus ditentukan lewat adu penalti.
Di bawah mistar gawang PSMS, berdiri kiper Ponirin Meka. Dia adalah sosok kunci kemenangan timnya pada final 1983.
Ponirin kembali menjadi mimpi buruk bagi eksekutor penalti Persib. Sebab, dari lima penendang, hanya Ajat Sudrajat yang mampu membobol gawang Ponirin. Persib pun kembali takluk 3-4 dari PSMS.
Dua kali kalah di final jelas membuat pendukung Persib kecewa. Namun, laga tersebut dapat berjalan tanpa kericuhan berarti antara pendukung kedua tim.
Fanatisme pendukung Persib saat itu tidak hanya terlihat di dalam stadion. Di Bandung, masyarakat mengikuti jalannya pertandingan melalui radio dan televisi.
Suasana di Kota Bandung agak lengang. Jalanan tidak seramai malam Minggu biasanya. Banyak toko tutup. Sementara di sejumlah toko radio dan televisi di berbagai sudut kota sengaja dipasang siaran pertandingan Persib melawan PSMS untuk ditonton oleh pedagang kaki lima dan pengayuh becak di sekitarnya. (Kompas, 24/2/1985).
Kalah dari PSMS tak membuat pendukung Persib membenci pendukung tim lawan. Bahkan, di dalam stadion, suporter kedua tim bisa berbaur dalam mendukung timnya masing-masing.
Dua kali gagal di final tak membuat fanatisme pendukung Persib kendur. Mereka kembali berbondong-bondong datang ke Jakarta saat Persib bersua Perseman Manokwari di final Perserikatan 1986. Hasilnya, Persib merengkuh gelar juara seusai menang 1-0.
Puluhan tahun berselang, fanatisme suporter sepak bola di Indonesia tidak luntur. Kreativitas lewat nyanyian, yel-yel, dan koreografi membuat suasana di dalam stadion menjadi lebih berwarna.
Akan tetapi, sejumlah kericuhan antarsuporter dengan jatuhnya korban jiwa menunjukkan, fanatisme itu seakan salah arah. Kebanggaan yang seharusnya menjadi energi positif untuk mendukung tim favorit justru memicu malapetaka perenggut nyawa.
Banyak rivalitas antarsuporter berakhir dengan kekerasan. Korban pun berjatuhan, tak hanya di dalam stadion, tetapi juga di luar stadion.
Kasus terbaru, Haringga Sirla (23), suporter Persija, tewas dikeroyok oleh sejumlah oknum pendukung Persib di area parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/9/2018). Peristiwa itu berlangsung beberapa jam sebelum pertandingan Go-Jek Liga 1 antara Persib dan Persija.
Haringga tewas setelah dianiaya dengan brutal sehingga memicu luka parah di kepala. Polisi telah menetapkan delapan tersangka yang diduga menganiaya korban menggunakan besi, kayu, batu, helm, dan kaca.
Warga Jakarta yang berasal dari Indramayu itu tercatat sebagai korban tewas ketujuh dalam kekerasan suporter sepak bola di Tanah Air dalam kurun setahun terakhir. Jika ditarik lebih jauh, 69 nyawa telah melayang akibat fanatisme sepak bola di negeri ini sejak 1995.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil merasa sangat prihatin dengan kasus kekerasan yang terus berulang itu. Tahun lalu, di tempat yang sama, suporter lain, Ricko Andrean, juga tewas dikeroyok oknum pendukung Persib.
”Semoga kejadian ini menjadi pelajaran untuk tidak melakukan fanatisme berlebihan. Bagi saya, lebih baik tidak ada liga sepak bola jika harus mengorbankan nyawa manusia,” ujar Kamil.
Manajer Persib Umuh Muchtar mengecam keras penganiayaan itu. Menurut dia, aksi biadab tersebut telah mencoreng kemenangan Persib yang saat ini bertengger di puncak klasemen Liga 1.
”Itu ulah sejumlah oknum yang sangat merugikan Persib. Sepak bola seharusnya menjadi pemersatu bangsa, bukan untuk membenci,” ujarnya.
Ketua Viking Persib Club Heru Joko juga menyayangkan kejadian itu sekaligus menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban. Dia pun mendorong kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut.
Menurut Heru, fanatisme suporter sebaiknya disalurkan melalui kreativitas. ”Mari salurkan emosi dukungan itu lewat karya. Bobotoh sudah bergerak ke arah itu. Namun, ulah beberapa oknum di luar stadion justru mencorengnya,” katanya.
Kebanggaan mendukung tim favorit menjadi spirit dalam sepak bola. Namun, fanatisme buta bisa memicu permusuhan kepada pendukung tim lawan.
Tak usah gengsi menoleh ke belakang. Kita pernah sampai pada suatu titik merayakan fanatisme dalam persaudaraan. Ketika ratusan ribu pendukung dari kedua tim yang bertanding berbaur dalam satu stadion untuk mendukung klub masing-masing. Fanatisme tak cukup menjadi alasan untuk saling membenci.