JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat diajak untuk semakin peduli terhadap kondisi lingkungan saat ini, khususnya kebakaran hutan. Lewat peristiwa itu mereka tidak boleh hanya menyalahkan alam sebagai penyebabnya, tapi faktor manusia juga ikut berperan, sehingga peristiwa itu seyogianya menjadi tanggung jawab besama.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi film dokumenter bertajuk Memahami Kebakaran Hutan dan Dampaknya, di Jakarta, Minggu (23/9/2018). Acara itu merupakan bagian dari rangkaian Pekan Diplomasi Iklim 2018 yang diadakan Delegasi Uni Eropa bekerja sama dengan Kedutaan Besar Polandia, Kedutaan Besar Italia, Pusat Kebudayaan Italia, dan Livelifeindo.
Ketua Youth for Climate Change Indonesia Lathifah Al Hakimi mengatakan, pola pikir masyarakat saat melihat peristiwa kebakaran hutan adalah justru menilai bahwa itu bukan bagian dari tanggung jawab mereka. Padahal, peristiwa itu merupakan sebuah siklus karena adanya ketidakseimbangan dari iklim yang salah satunya disebabkan oleh faktor manusia.
“Kebakaran hutan itu akan memberikan dampak pengeluaran gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Lalu, pemanasan global mengakibatkan adanya perubahan iklim yang akan mempengaruhi ketidakseimbangan elemen cuaca,” ujarnya.
Selain itu, ketidakseimbangan cuaca berpengaruh terhadap terjadinya El Nino, lanjut Lathifah, El Nino yang biasanya terjadi sekitar tujuh tahun sekali bisa berubah menjadi dua tahun sekali dengan intensitasnya semakin besar. Ketika intensitas semakin besar akan menimbulkan gelombang panas dan penurunan level air.
Lalu, penurunan level air yang menurun akan menyebabkan kebakaran hutan semakin sering terjadi. Kebakaran hutan biasa terjadi pada tanah gambut. Salah satu penyebab tanah gambut mudah terbakar adalah karena pertanian dengan metode pengeringan.
Sedangkan, pada kondisi alami, gambut tidak mudah terbakar karena karakteristiknya yang lembab dan mampu menahan air. Kemudian, pada musim kemarau gambut akan melepaskan air secara perlahan.
Namun, kemampuan menahan air dapat tidak maksimal jika keseimbangan ekologisnya terganggu, sehingga musim kemarau akan menyebabkannya menjadi kering dan mudah terbakar.
Dalam kesempatan itu, diputar film dokumenter berjudul Sayang Kalimantan karya sutradara asal Singapura Wally Tham. Film itu menampilkan perjalanan Wally saat menembus Kalimantan untuk mendokumentasikan kebakaran hutan gambut tahun 2015 yang mengakibatkan asap dan kabut yang mempengaruhi daerah di Asia Tenggara.
Ia bersama timnya juga melakukan kampanye edukasi dan pemberian bantuan dalam menciptakan shelter udara bersih sebagai antisipasi kebakaran hutan di masa depan.
Film itu merupakan bentuk kepeduliannya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga sesuatu yang disayangi.
Kalimantan merupakan salah satu bagian dari paru-paru dunia, karena mayoritas hutan di sana berperan dalam menyediakan oksigen dunia. Jika kebakaran hutan terjadi, maka akan menyebabkan persediaan oksigen menurun.
Dalam menanggulangi kebakaran hutan menjadi tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu, penting untuk menjaga persediaan oksigen bagi generasi masa depan. “If you love it, you will protect it,” ujar Wally.
Adapun, film Haze: It’s Complicated karya Isaac Kerlow and The Earth Observatory of Singapore turut ditampilkan kepada para peserta diskusi.
Film itu menyajikan fakta-fakta ilmiah di balik isu pelestarian lahan gambut, serta sudut pandang dan pendapat dari berbagai pemangku kepentingan lokal dan regional.
Kebakaran hutan gambut yang terjadi di sejumlah wilayah Asia Tenggara telah menciptakan asap dan polusi. Hal itu menimbulkan tantangan yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan ekonomi daerah selama dua dekade sepanjang abad ke-21. (MELATI MEWANGI)