Harga Semen Pun Turun Jadi Rp 300.000
Anis Wayag (40), bersama 12 teman serombongan, berjalan tanpa alas kaki menyusuri Jalan Trans-Papua ruas Jayapura-Wamena dari kampungnya di Distrik Welarek, Kabupaten Yalimo, menuju Kampung Yahuli. Perjalanan sejauh sekitar 100 kilometer yang ditempuh ”hanya” selama 11 jam itu mengembangkan kebahagiaan besar di hati Anis.
Anis adalah salah satu pemilik hak ulayat di Yalimo yang secara sukarela memberikan tanahnya untuk salah satu bidang jalur Jayapura-Wamena. Karena itu, dirinya merasa berkewajiban mengecek perkembangan jalan yang kini sudah tersambung meski belum sepenuhnya rampung tersebut.
Setelah bermalam di Yahuli, Anis dan rekan-rekannya melanjutkan penyusuran hingga Distrik Benawa, masih di Yalimo. Mereka cuma bermodal menggosokkan tanaman khas Papua, yang disebut daun gatal, pada betis hingga paha. Khasiatnya untuk mengurangi rasa lelah berjalan. Namun, segala lelah itu seolah luluh karena kebahagiaan.
Kini, harga jual semen yang didatangkan dari Jayapura melalui Jalan Trans-Papua ”hanya” Rp 300.000 per zak.
”Saya sangat bahagia jalan ini akhirnya tersambung. Sekarang berjalan kaki dari Welarek ke Benawa hanya memakan waktu sekitar tiga hari. Dulu, kami harus mendaki gunung-gunung sehingga butuh waktu berminggu-minggu untuk tiba di Benawa,” tutur Anis saat ditemui Kompas di Yahuli ketika mengikuti pemantauan ruas Jayapura-Wamena bersama Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XVIII Wilayah Papua, Sabtu (8/9/2018).
Kebahagiaan serupa diungkapkan Otniel Mege (18), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayapura yang tinggal di Kampung Thamaksin, Yalimo. Saat ditemui di Benawa, Otniel sedang dalam perjalanan dari Thamaksin menuju Kampung Gilika untuk naik pesawat berbadan kecil ke Jayapura.
Perjalanan Thamaksin-Gilika memakan waktu tiga hari. Namun, kondisi itu sudah lebih baik ketimbang sebelum jalan tersambung. Dulu, Otniel malah tak akan mengambil rute itu karena medannya sangat curam dan bisa memakan waktu hingga seminggu berjalan kaki.
Kalau mau naik pesawat ke Jayapura, dia memilih berjalan kaki ke Elelim, ibu kota Yalimo, yang lebih mudah ditempuh. ”Sekarang akses antarkampung menjadi lebih mudah karena sudah ada jalan ini,” ujar Otniel.
Pernah dibuka
Jalan Trans-Papua ruas Jayapura-Wamena berjarak 585 kilometer. Ruas ini sangat strategis karena menghubungkan wilayah pesisir dengan pegunungan di Papua. Ruas tersebut melewati sejumlah daerah, yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, Yalimo, dan Jayawijaya. Wamena adalah ibu kota Jayawijaya di kawasan Pegunungan Tengah.
Sebenarnya, ruas Jayapura-Wamena ini pernah dikerjakan pemerintah pada 1990 dan tersambung pada 1998. Jalan tanah tersebut pun pernah diuji coba oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Papua. Hasilnya, kondisinya dinilai belum layak dan aman untuk lalu lintas umum.
Sejumlah titik masih berkemiringan curam, bertikungan tajam, dan rawan longsor. Upaya memperbaiki kondisi tersebut terbentur krisis moneter yang melanda negara kala itu.
Jalan yang sudah dibuka itu pun akhirnya terbengkalai dan tak sempat dinikmati masyarakat. Seiring waktu, ada ruas yang tertimbun longsor, ada pula ruas yang hilang sama sekali akibat tergerus air. Hingga kemudian upaya untuk membangun kembali jalan itu dihidupkan lagi oleh pemerintah pada 2014.
”Sejak tahun 2014, total sepanjang 170 kilometer jalan yang harus dikerjakan agar bisa menyambungkan kembali ruas Jayapura-Wamena. Setiap tahun kami menganggarkan sekitar Rp 100 miliar untuk pembukaan jalan, pelebaran badan jalan, penurunan tingkat kemiringan jalan, penimbunan dengan urukan pilihan, dan pembuatan jembatan,” ujar Kepala BPJN XVIII Wilayah Papua Osman Marbun.
Tahun ini, tersisa dua paket pekerjaan di Yalimo, masing-masing sepanjang 11,5 kilometer. Osman mengatakan, menurut rencana, jalan itu akan resmi dibuka pada Desember nanti.
Dari pantauan Kompas saat menyusuri ruas itu pada 7-8 September lalu, masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang wajib dituntaskan kontraktor. Di antaranya tingkat kemiringan jalan di sejumlah titik yang mencapai sekitar 30 persen dan adanya limpasan air di pinggir jalan yang berpotensi membahayakan pengendara.
Limpasan air yang berlimpah dapat mengikis jalan sehingga berpotensi menyebabkan longsor. Belum ada saluran drainase di pinggiran jalan untuk mengatasi masalah tersebut.
Osman mengatakan, pihaknya akan menurunkan tingkat kemiringan jalan di lima titik hingga mencapai batas aman, yakni 12 persen. ”Sementara, untuk mengatasi pengikisan karena limpasan air, pihak kontraktor akan membangun gorong-gorong dan jembatan. Tahun ini sebanyak lima unit jembatan akan dituntaskan,” tuturnya.
Harapan warga
Setelah jalan rampung sepenuhnya dan dioperasikan, Otniel berharap pemerintah menyediakan angkutan umum yang melayani trayek Jayapura-Yalimo secara rutin. ”Dengan begitu, warga tak perlu mengeluarkan biaya pesawat hingga jutaan rupiah untuk menempuh perjalanan dari kampung ke kota,” ujarnya.
Hal senada dituturkan Tabitha Enembe, warga Distrik Airu, Kabupaten Jayapura. Mereka juga sangat membutuhkan transportasi darat untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan di daerah perkotaan.
”Banyak anak yang belum bersekolah walaupun telah berusia 12 tahun. Jarak dari sini ke sekolah di pusat distrik (setingkat kecamatan) sangat jauh. Anak-anak tak mampu berjalan sejauh itu dengan kondisi medan yang berat,” ungkap Tabitha.
Meski kondisi jalan belum layak 100 persen, banyak warga yang telah menggunakan jalan ini sejak Juli lalu. Mereka membawa aneka barang kebutuhan, seperti beras, minyak goreng, dan semen. Hal ini untuk menekan tingginya harga barang di kawasan Pegunungan Tengah Papua.
Biaya pengangkutan barang ke wilayah itu mencapai Rp 15.000 per kilogram karena harus didatangkan dengan pesawat kargo dari Jayapura dan Mimika. Wamena menjadi pusat transit dan redistribusi barang ke berbagai daerah lain di Pegunungan Tengah, seperti Lanny Jaya, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, dan Yalimo.
Bupati Yalimo Lakius Peyon mengatakan, warga mulai merasakan dampak menurunnya harga barang hingga 50 persen walaupun jalan tersebut belum resmi dibuka. Misalnya, harga semen yang didatangkan dari Wamena biasanya Rp 600.000 per zak. Kini, harga jual semen yang didatangkan dari Jayapura melalui Jalan Trans-Papua ”hanya” Rp 300.000 per zak.
Osman mengatakan, warga antusias menggunakan ruas Jayapura-Wamena karena berdampak sangat besar dalam membuka isolasi kawasan dan menekan disparitas harga barang. Saat ini, sekitar 30 kendaraan seperti truk melintasi jalan itu setiap hari.
Namun, di sisi lain, penggunaan jalan yang belum rampung itu berpotensi menimbulkan masalah karena dapat mengganggu pengerjaan yang masih berlangsung. ”Kami akan berkoordinasi dengan aparat Polri dan TNI untuk mengamankan pengerjaan jalan hingga tuntas,” kata Osman.
Tak lama lagi mimpi lama untuk memutus keterisolasian wilayah di Pegunungan Tengah Papua terwujud. Beberapa hal yang perlu diantisipasi adalah gegar budaya masyarakat pedalaman atas keberadaan jalan baru dan keamanan perjalanan. Di luar itu, kesaksian Anis dan Otniel adalah gambaran positif kehadiran negara di wilayah pedalaman.