Petualangan Lidah dan Hati
Makanan bukan semata pengisi perut atau penyambung hidup. Lewat film ”Aruna dan Lidahnya”, kita diajak menyelami masakan dari beragam sudut pandang. Sajian di piring ibarat hidup itu sendiri yang kaya rasa. Sebaiknya tidak menonton film ini jika perut Anda sedang kosong.
Begitu layar terang, yang tampak adalah sepanci sop buntut yang kuahnya mulai mendidih. Potongan-potongan buntut sapi berenang-renang dalam kuah kecoklatan bersama wortel dan kentang. Dagingnya yang kenyal terlihat bisa lepas dengan mudah. Menyusul potongan tomat segar melengkapi pemandangan menggiurkan itu.
Sepanci sop buntut itu diperbesar sehingga memenuhi layar. Rasanya tangan ingin ikut menyendoknya, memindahkannya ke atas piring, lalu menyantapnya. Cleguk....
Godaan tentu saja tidak berhenti di situ. Aruna dan Lidahnya, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak, memang soal makanan berbalut humor, drama, dan sisipan isu sosial. Jadi, deretan makanan juga menjadi bintang utama di samping para pemeran utamanya.
Edwin, sang sutradara, terpikat dengan kisah Aruna setelah novel itu diluncurkan tahun 2014. Dalam film produksi Palari Films ini, dia menampilkan 21 jenis makanan, tidak sebanyak yang tertulis di dalam novel. Beberapa jenis makanan dalam film tidak ada dalam novel dipilih saat Edwin melakukan riset untuk film.
Aruna dan Lidahnya mengisahkan petualangan empat orang, Aruna (Dian Sastrowardoyo), ahli wabah penyakit; Bono (Nicholas Saputra), chef; Nadezhda atau Nad (Hannah Al Rashid), penulis buku kuliner; dan Farish (Oka Antara), dokter hewan. Aruna ditugaskan oleh kantornya untuk menyelidiki kasus wabah flu burung di empat kota, yakni Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang.
Kesempatan itu dimanfaatkan Bono, sahabat Aruna, untuk ikut dalam misinya sendiri: mencari resep baru untuk variasi menu restorannya. Turut memeriahkan acara kerja sembari liburan adalah sahabat mereka, Nad, yang secara khusus diundang Bono tanpa sepengetahuan Aruna.
Tiba-tiba Farish muncul di Surabaya, ditugaskan ikut serta dalam penyelidikan Aruna. Dikisahkan, dulu Aruna pernah naksir Farish, tetapi tak berbalas sehingga tampak ada masalah yang belum selesai di antara keduanya.
Dari Surabaya, petualangan berlanjut di kota-kota berikutnya. Di tengah pekerjaan Aruna, mereka menikmati sajian kuliner lokal. Dinamika hubungan empat orang dengan karakter masing-masing pun tumbuh bersama makanan yang mereka nikmati.
Sepanjang menjalankan pekerjaannya, Aruna mencium sesuatu yang tidak beres dalam proyek tersebut. Sampai pada saat relasi keempatnya meruncing dan membawa mereka ke level selanjutnya.
Menggoda
Dalam sebagian besar adegan, makanan menjadi sentral cerita. Beberapa menu familier, beberapa lainnya barangkali baru dikenal. Edwin mempresentasikan makanan-makanan itu sedemikian menggoda. Udang bakar dengan garam masala, roti panggang dengan parutan keju yang meleleh, soto lamongan dengan bubuk koya, rawon surabaya dengan potongan daging dan kuahnya, sampai mi kepiting khas Pontianak menerbitkan air liur.
Masih ada makanan campor lorjuk khas Pamekasan berupa olahan sejenis kerang bambu dengan lontong, bihun, taoge, dan kuah. Menurut Edwin, menu ini tidak ada di dalam novel. Ada pula makanan pengkang khas Singkawang berupa ketan dengan ebi dan sambal kerang.
Selain detail secara visual, secara tutur pun bagian-bagian makanan itu digambarkan rinci. Simak bagaimana si bapak pasien rumah sakit menceritakan soto lamongan buatan istri tercintanya yang sudah tiada, membuat Aruna sampai menelan ludah.
Aruna mengadu kenapa dia tidak bisa membuat masakan seenak masakan ibunya. ”Beberapa masakan tidak pernah pindah tangan,” ujar si bapak.
Karakter dan kisah para tokoh utamanya juga berpusar di sekitar makanan itu. Sembari menyantap makanan, mereka mengobrol tentang berbagai hal. Dari situlah karakter mereka diperkenalkan.
Makanan juga dipandang semacam representasi hubungan antarorang. Misalnya, rujak soto yang bagi Aruna mewakili hubungan dua orang yang semestinya tidak usah dipaksa untuk disatukan karena yang satu mengalahkan yang lain.
Edwin memanfaatkan kekuatan obrolan dalam bahasa sehari-hari yang ringan sehingga bisa diakrabi penonton. Dia juga ”menugaskan” Aruna sebagai narator dan komentator sering dengan metode menembus ”dinding keempat”, seperti yang pernah kita dapati dalam film Hollywood, Deadpool, dan dalam Warkop DKI Reborn.
Aruna sering mengungkapkan pikiran dengan menghadap ke kamera seakan berbicara langsung dengan penonton, tanpa sepengetahuan lawan bicaranya. Dia juga melirik ke kamera dan menggunakan ekspresi wajahnya untuk maksud yang sama. Penonton pun sontak ikut tersenyum dan manggut-manggut.
Drama dalam film Aruna dan Lidahnya berkisar tentang persahabatan, cinta, juga perselingkuhan. Percakapan tentang hal-hal tersebut begitu terbuka dan wajar mengingat dinamika karakternya yang berusia di atas 30 tahun dan hidup di kota besar.
Para pemerannya bisa menghidupkan drama tersebut. Hal-hal kecil mengemuka dengan manis, mengingatkan kita dengan lingkaran sahabat-sahabat kita. Segala hal dari yang manis, asam, hingga pahit menjadi berarti di tengah sahabat.
Di antara kisah tentang makanan, Aruna dan Lidahnya menyisipkan sejumlah isu, seperti korupsi dan agama. Namun, isu korupsi yang diketengahkan tampak terlalu klise dan menempel pada narasi besar tentang seluk-beluk makanan.
Disadari atau tidak, makanan itu selalu hadir dalam suasana hati yang menyenangkan. Dalam film pun terlihat bahwa ketika para tokohnya mengalami konflik, baik dalam diri maupun dengan tokoh yang lain, makanan terasa tidak nikmat disantap.
Benar kata Farish bahwa makanan tidak selalu harus dibahas. Namun, kenikmatannya selalu layak dirayakan.