JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini belum ada kejelasan tentang rencana pengendalian distribusi untuk elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara. Padahal, konsumsi elpiji dari tahun ke tahun terus meningkat. Elpiji, yang sebagian besar diimpor, berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Tahun anggaran 2017, realisasi volume elpiji 3 kilogram sebanyak 6,3 juta ton. Adapun kuota tahun ini sebanyak 6,45 juta ton dengan realisasi sampai Juni lalu sebanyak 3,2 juta ton. Pemerintah memprediksi realiasai sampai akhir tahun nanti sebanyak 6,6 juta ton. Dalam rapat kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu, penyaluran elpiji 3 kilogram 2019 disepakati sebanyak 6,978 juta ton.
Saat ini, penjualan elpiji 3 kilogram bersifat terbuka meski tertulis pada tabung bahwa elpiji tersebut hanya untuk masyarakat miskin. Dengan sistem penjualan terbuka, siapa pun dapat membeli elpiji bersubidi tersebut. Dari temuan dalam sejumlah inspeksi oleh PT Pertamina (Persero) bersama instansi terkait di sejumlah daerah, elpiji 3 kilogram banyak pula dipakai oleh konsumen yang tidak berhak.
Menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, pihaknya belum mengetahui perkembangan lebih lanjut rencana pengendalian distribusi elpiji 3 kilogram. Menurut dia, rencana pendistribusian secara tertutup (menggunakan kartu beridentitas khusus) ada di ranah Kementerian Sosial. Ia juga menyebut masih akan melihat kembali hasil evaluasi pelaksanaan uji coba pendistribusian elpiji 3 kilogram secara tertutup oleh Kementerian ESDM beberapa waktu lalu di sejumlah tempat.
"Masih soal pendataan (jumlah penerima subsidi elpiji 3 kilogram) di Kementerian Sosial. Dalam hal ini, posisi Kementerian ESDM adalah untuk kuotanya saja," ucap Tahar, Jumat (21/9/2018), di Jakarta.
Sejauh ini, pemerintah menyiapkan dua model pendistribusian elpiji 3 kilogram. Model itu adalah menggunakan kartu beridentitas khusus dan skema pemberian bantuan langsung tunai (BLT) bagi penerima subsidi. Hanya pemegang kartu beridentitas khusus yang bisa membeli elpiji 3 kilogram.
Subsidi membengkak
Naiknya konsumsi elpiji 3 kilogram menyebabkan anggaran subsidi energi membengkak. Sampai akhir tahun ini, penyaluran subsidi energi diperkirakan mencapai Rp 148,9 triliun. Adapun anggaran untuk subsidi energi tahun depan sebesar Rp 157,79 triliun. Subsidi energi tersebut termasuk untuk subsidi listrik.
”Ini tidak terlepas dari tata cara penyaluran subsidi yang belum bersifat tertutup. Padahal, wacana mekanisme subsidi tertutup muncul sejak 2-3 tahun lalu,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara (Kompas, 20/9/2018).
Pemerintah telah menyusun rencana jangka panjang mengurangi impor elpiji dengan cara gasifikasi batubara.
Berdasarkan perhitungan Pertamina, selisih harga elpiji bersubsidi dengan yang non subsidi sekitar Rp 8.000 per kilogramnya. Harga elpiji bersubsidi, sejak dikenalkan ke masyarakat pada 2007, tidak pernah naik hingga sekarang, yaitu Rp 4.250 per kilogramnya. Adapun harga elpiji yang non subsidi sekitar Rp 12.000 per kilogramnya.
"Elpiji yang kami edarkan itu sebagian besar diperoleh dari impor. Porsinya mencapai 70 persen," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito.
Pemerintah telah menyusun rencana jangka panjang mengurangi impor elpiji dengan cara gasifikasi batubara. Batubara yang diolah sedemikian rupa menjadi gas, dapat diolah menjadi elpiji sehingga impor elpiji dapat ditekan. Perusahaan negara yang sedang mengembangkan gasifikasi batubara adalah PT Bukit Asam Tbk dengan menggandeng Pertamina, PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Keempat perusahaan tersebut bersepakat mendirikan unit pengolahan batubara menjadi gas di kawasan tambang batubara Bukit Asam di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Proyek gasifikasi Bukit Asam akan mengubah batubara jadi bahan baku urea berkapasitas 500.000 ton per tahun, dimetil eter 400.000 ton per tahun, dan polypropylene 450.000 ton per tahun.