JAKARTA, KOMPAS — Diskursus terkait deforestasi yang menghambat solusi perubahan iklim sering kali terperangkap pada persoalan peraturan dan ketersediaan teknologi. Problematika tata kelola yang berada di balik deforestasi selama ini jarang dibicarakan secara terbuka. Padahal, di tingkat tapak, tata kelola yang buruk menjadi akar masalah deforestasi.
Demikian dijelaskan Guru Besar Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo seusai diskusi mingguan Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (19/9/2018) di Jakarta, bertajuk ”Masalah Tata Kelola Kehutanan dan Lingkungan dalam Era Perubahan Iklim dan Solusinya”.
Cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di antaranya dengan mengatasi deforestasi. Namun, didapati ada 32 titik moral hazard dalam permasalahan lingkungan. Bersama KLHK, Hariadi menemukan semua moral hazard itu berawal dari kajian dan izin lingkungan.
”Mulai dari penyusunan dan penilaian dokumen, penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan, hingga izin lingkungan dan sistem standardisasi, ada 32 titik moral hazard. Itu harganya bervariasi. Konsultan menerima Rp 2,5 miliar selesai dengan suapnya,” ujar Hariadi. Setiap titik ada angka harganya.
Kondisi tersebut berawal dari biaya pemilihan kepala daerah yang tinggi. ”Rata-rata biaya pilkada kabupaten Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Kalau gubernur bisa Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Artinya, potensi mencari sumbangan besar sekali. Kalau tidak dapat, tidak mungkin (mencalonkan diri),” katanya.
Dari survei didapatkan, 71,3 persen mengakui donatur mengharapkan balasan jika calon kepala daerah menjabat dan 82 persen menyatakan, sebagian besar calon kepala daerah akan memenuhi harapan donatur. Tiga harapan utama adalah keamanan berbisnis, perizinan usaha, dan kemudahan ikut tender proyek pemerintah. Menurut Hariadi, permintaan donatur berimplikasi pada terhambatnya skema perhutanan sosial.
Separuh permintaan donatur adalah mendapat akses menjabat di pemerintahan atau turut menentukan kebijakan. ”Segala sesuatu ada harganya. Ini menjadi state capture, yaitu sudah jelas pemerintahnya siapa dan arahnya ke mana, dan ini sudah selesai prosesnya,” katanya.
Melalui wawancara personal, Hariadi menemukan kelompok rentan korupsi selalu dikelilingi perantara dari jajaran formal yang menjadi penghubung dengan konsultan. Juga ada orang terkemuka (eminent person). Ada eminent person yang ingin mendapat izin tanpa melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal. ”Ini menjadi informasi yang tertutup dan dipertahankan agar berstatus ’rahasia umum’, dijaga dan dipelihara agar medium penguasaan sumber daya alam dapat dimanipulasi,” katanya.
Kajian KPK pada 2013 menemukan potensi suap perizinan kehutanan Rp 680 juta-Rp 22 miliar. Kerugian negara karena pembalakan liar Rp 35 triliun per tahun dan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya Rp 230 miliar, sementara sektor kelautan Rp 70 triliun per tahun. Selisih luas data PBB perkebunan sawit di Riau, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan mencapai 1.483.085 hektar.
Yetrie Ludang dari Dewan Kehutanan Nasional menekankan, praktik perusahaan harus mengutamakan kelestarian. Pola mementingkan produksi dan ekonomi harus berubah.