Perjuangan Ibu-ibu Afghanistan untuk Melahirkan di ”Pabrik Bayi” Area Taliban
Di wilayah Provinsi Khost, Afghanistan bagian tenggara, berjarak hanya sepelemparan batu dari area-area warga suku di Pakistan, terdapat rumah sakit bersalin yang kerap dijuluki oleh para aktivis LSM sebagai ”pabrik bayi”. Julukan itu muncul karena rumah sakit bersalin tersebut merupakan salah satu rumah sakit bersalin paling aktif di dunia. Setiap hari, rumah sakit bersalin itu menangani kelahiran lebih dari 60 bayi setiap hari.
Rumah sakit bersalin itu dikelola lembaga amal Dokter Lintas Batas (MSF). Pagi hari merupakan saat-saat paling sibuk di tempat tersebut. Para ibu biasanya memilih waktu melahirkan pada pagi hari. Mereka menghindari malam hari karena takut pada kelompok militan Taliban.
Area sekitar rumah sakit bersalin itu merupakan wilayah operasi Taliban. Milisi Taliban biasa beroperasi saat hari gelap. Situasi jalanan sangat berbahaya setelah hari gelap. Karena itu, ketika Asmad Fahri (25) mulai merasakan kontraksi pada malam hari, dia harus menunggu hingga fajar tiba untuk menempuh perjalanan tiga jam ke Rumah Sakit (RS) Bersalin MSF tersebut.
Fahri tiba di rumah sakit bersalin itu dan melahirkan bayi. Baru setelah itu ia bisa beristirahat. Bayinya terbungkus rapat, tertidur di antara dua lutut Fahri. Jika rata-rata ibu yang baru melahirkan akan dirawat di bangsal selama enam jam, Fahri mendesak untuk pulang ke rumah baru tiga jam setelah melahirkan. Dia harus tiba di rumah sebelum hari gelap.
Di wilayah konflik seperti Afghanistan, terutama di area operasi kelompok militan Taliban dengan kondisi jalan yang buruk, perjalanan menuju tempat persalinan bagi para ibu hamil bukanlah hal yang mudah. Kadang-kadang para ibu hamil itu harus menempuh perjalanan selama berhari-hari, mengalami kesakitan dan pendarahan di atas jalanan yang tidak beraspal dan tidak aman di gerobak atau moda transportasi apa pun yang dapat mereka temukan.
Meski demikian, di tengah banyak keterbatasan, kelahiran di wilayah itu terus terjadi. Dengan waktu yang sangat terbatas, para ibu melahirkan dengan cepat. Kadang mereka hanya memiliki waktu untuk mengangkat dan membuka baju panjang mereka, lalu mengibaskan selendang berwarna, dan setelah itu bayi pun lahir. Dalam persalinan cepat seperti itu, sang ibu sering tidak sempat berganti piyama merah, baju standar untuk pasien RS Bersalin MSF.
Puluhan ribu kelahiran
RS Bersalin MSF di Provinsi Khost itu dibuka pada akhir 2012 di tengah konflik Afghanistan yang mencatat tingkat kematian bayi dan ibu tertinggi di dunia. Selama satu tahun pertama beroperasinya RS Bersalin itu hingga tahun 2013, tercatat sudah 12.000 kelahiran yang dibantu di rumah sakit bersalin tersebut.
Pada 2017 angka itu hampir dua kali lipat, menjadi 23.000 kelahiran. Hingga 2018 ini, yang baru memasuki bulan kesembilan, RS Bersalin MSF itu telah membantu kelahiran 24.000 bayi. Data-data itu disampaikan Dr Rasha Khoury, dokter kandungan asal Palestina yang menjadi salah satu petugas medis di RS Bersalin MSF di Khost.
Jumlah kelahiran di RS Bersalin MSF Khost tersebut sudah hampir sama dengan jumlah kelahiran di RS Northside Atlanta, AS, yang membantu kelahiran 27.000 bayi pada 2016. Ini merupakan angka tertinggi di AS pada tahun itu.
”Di sini kami menyelamatkan nyawa secara gratis,” kata Safia Khan (24), asisten manajer tim kebidanan RS Bersalin MSF di Khost.
Di belakang Safia Khan, ada seorang ibu muda dari dua bayi kembar yang memberinya uang kertas terlipat. Ini adalah cara dan kebiasaan berterima kasih perempuan Afghanistan setelah mereka melahirkan. Di beberapa rumah sakit, kadang-kadang ibu hamil harus membayar ongkos persalinan.
Namun, tidak demikian halnya di RS Bersalin MSF di Khost. Para petugas medis akan secara sopan menolak pemberian uang dari pasien bersalin. ”Itu dilarang di sini,” kata Khan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia menempatkan angka kematian ibu di Afghanistan sekitar 396 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Namun, angka tersebut diperdebatkan. Para ahli menyebutkan angka itu adalah penurunan yang tidak mungkin dari jumlah kematian ibu melahirkan di Afghanistan: dari 1.600 kematian ibu per 100.000 yang tercatat pada 2002.
Dengan penurunan jumlah kematian ibu melahirkan sebesar itu, berarti Afghanistan akan mencapai Target Pembangunan Milenium (MDG) yang ditetapkan oleh PBB sekitar lima tahun lebih awal. Demikian sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal medis yang dicatat oleh Lancet pada 2017.
Para penulis studi tersebut mengatakan, angka-angka yang lebih kredibel dari pemerintah Afghanistan bekerja sama dengan USAID menunjukkan bahwa jumlah kematian ibu melahirkan di Afghanistan masih tinggi, yakni 1.291 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup. Itu berarti, kematian karena melahirkan bagi perempuan Afghanistan sekitar lima kali lebih berisiko dibandingkan konflik atau peperangan di negeri tersebut.
Dr Khoury mengatakan, MSF memfasilitasi sekitar 40 persen kelahiran di Khost, yang diperkirakan berpenduduk 1,5 juta jiwa. Untuk mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan sekarang ini, lanjut Khoury, mereka membutuhkan tiga rumah sakit seperti RS Bersalin MSF.
Pashtunwali
Selain masalah peperangan, kemiskinan, dan populasi yang terus bertumbuh, staf medis di wilayah itu menghadapi hambatan lebih lanjut, yakni Pashtunwali. Ini sebuah kode kehormatan sosial patriarki yang harus dipatuhi dalam kehidupan di wilayah suku Pashtun yang konservatif.
Berdasarkan Pashtunwali, jender harus dipisahkan. Seorang perempuan tidak boleh menunjukkan wajahnya kepada orang asing. Dengan demikian, staf medis di RS Bersalin MSF tersebut juga harus perempuan, kecuali beberapa ahli anestesi dan direktur departemen neonatologi yang menangani perawatan atas bayi-bayi yang baru dilahirkan.
Menurut Salamat Khan Mandozai, tokoh lokal yang dihormati yang kerap berurusan dengan keamanan untuk rumah sakit dan juga bertindak sebagai penghubung komunitas, kadang-kadang diperlukan persuasi untuk mengatasi kendala Pashtunwali. Bagi sejumlah perempuan, pergi ke rumah sakit dianggap sebagai hal yang bisa mempermalukan mereka.
”Di lingkungan pedesaan ini, beberapa perempuan masih lebih suka melahirkan di rumah,” kata Mandozai.
Safia Khan setuju, kelahiran adalah masalah pribadi. Dr Khoury mengatakan, pihak rumah sakit sadar bahwa banyak perempuan tidak datang ke rumah sakit. Namun, kata Khoury, banyak juga keluarga yang datang ke RS Bersalin MSF tanpa ragu-ragu.
Bagi banyak orang, hambatannya bukan masalah budaya, melainkan keuangan untuk membayar biaya transportasi atau keselamatan dan keamanan, terutama pada malam hari. Perempuan sering harus menunggu sampai ada seorang pria dari keluarga yang bisa menemani mereka ke RS bersalin.
(AFP)