JAKARTA, KOMPAS - Jalan cerita merupakan inti dari tayangan animasi. Oleh karena itu, animator harus bisa mencari kolaborasi dengan penulis naskah yang bisa mengembangkan cerita menarik serta unik.
“Banyak orang yang mengira kehalusan animasi serta kecanggihan efek komputer merupakan penentu mutu animasi. Faktor utama tetap pada hal yang paling sederhana, yaitu jalan cerita,” kata pendiri studio animasi MPIC Eki NF di saat memberi pemaparan pada acara Kegiatan Animasi Cikini 2018 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Eki mengungkapkan, penulisan cerita masih merupakan kelemahan studio pembuat animasi di Indonesia. Umumnya, mereka masih mengedepankan desain produksi yang mentereng. Padahal, tanpa jalan cerita, tayangan animasi menjadi hampa.
Menurut dia, selain mengembangkan kolaborasi antara animator yang memiliki pengetahuan teknis dengan para penulis naskah, juga harus ada diskusi agar kedua belah pihak saling memahami. “Penulis harus memahami keterbatasan teknologi animasi sehingga bisa membuat naskah yang tetap menjaga keutuhan cerita sekaligus masih bisa diwujudkan oleh animator di tengah keterbatasan teknologi suatu rumah produksi,” kata Eki.
Eki menyarankan kepada peserta diskusi yang mayoritas adalah siswa SMK multimedia untuk memulai menulis naskah yang diadaptasi dari hal-hal di kehidupan sekitar. Kunci cerita yang bagus adalah ketika penulis menulis topik yang ia ketahui. Apabila tidak tahu, dibutuhkan riset dan pencarian informasi secara mendalam.
Oleh sebab itu, acara-acara festival animasi, komik, permainan digital, dan film merupakan kesempatan emas bagi para animator untuk bertemu dan membangun jejaring dengan para penulis naskah.
Fajar Ramayel, pembuat film animasi pendek Lukisan Nafas yang memenangi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2017 menuturkan, langkah pertama kolaborasi bisa dilakukan dengan membuat komik. Cara ini lebih mudah dan murah dibandingkan dengan langsung membuat film animasi.
“Hasil karya pertama-tama bisa diunggah ke media sosial. Selain untuk mempromosikan kolaborasi, juga untuk melihat animo masyarakat terhadap karya tersebut sehingga pembuat karya bisa menilai aspek-aspek yang perlu dibenahi,” katanya.
Berkembang
Industri animasi di Indonesia bisa diumpamakan seperti seorang bayi jika dibandingkan dengan industri film, televisi, dan iklan. Menurut data Badan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2017, industri animasi baru menyumbang pendapatan domestik bruto sebesar 0,79 persen.
Eki mengatakan, hal ini merupakan nilai plus karena industri animasi bisa dibuat cetak biru yang ideal mulai dari standar kompetensi animator hingga ke sistem permodalan dan distribusi hasil karya.
Sementara itu, Direktur Studio Film MSKG Samuel Siregar mengatakan, terdapat pasar lokal dan internasional yang besar untuk film animasi buatan Indonesia. “Karya animasi memang lebih sukar dijual daripada film, namun selalu ada wadah yang bisa menampung dan menayangkannya selama jalan cerita bagus dan unik. Akan selalu ada pembeli, baik berupa bioskop, televisi, maupun tayangan berbayar di internet,” ucapnya.
Ia memaparkan, dilihat dari selera pasar, animasi dua dimensi paling laku di Indonesia, Jepang, dan China. Adapun negara lain lebih condong kepada animasi tiga dimensi. Akan tetapi, faktor ini tidak menutup kemungkinan bahwa tayangan animasi dua dimensi bisa laku di pasar selain tiga negara tersebut.
Dalam hal ini, lanjut Samuel, butuh sutradara dan produser tayangan animasi yang memiliki pikiran terbuka untuk mendengar tanggapan dari berbagai pihak terkait pengembangan jalan cerita.