Peringati Hari Perdamaian Dunia, Ludruk Pentas di Hotel
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Memperingati Hari Perdamaian Dunia, Jumat (21/9/2018) malam, Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonesia bersama Republik Ludruk Surabaya akan mementaskan The Loedroek Arti Sebuah JAS di Swiss-belinn Manyar, Surabaya, Jawa Timur.
Pementasan juga sebagai penghormatan terhadap para korban teror bom Surabaya, 13-14 Mei 2018. Horor berdarah itu merobek kehidupan sosial warga Surabaya yang dirasa harmonis selama ini. Komunitas seniman, dengan ludruk, mencoba turut berperan mendorong perdamaian melalui pementasan seni tradisi sarat pesan dan makna.
Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonesia (KISPI) berada dalam naungan Yayasan Hotline Surabaya. Republik Ludruk Surabaya merupakan forum kelompok ludruk yang dimotori oleh kelompok Luntas (Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Soeroboio).
Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya Esthi Susanti Hudiono mengatakan, menggandeng Luntas untuk mendorong kaum muda di Surabaya kembali mencintai seni tradisi yang ada terutama ludruk. Luntas kemudian membangun jaringan dengan mendorong kebangkitan kelompok ludruk warga antara lain di Kampung Parikan dan Kampung Asemjajar. Kedua kampung itu merupakan dampingan yayasan untuk program penataan kehidupan.
Menurut Esthi, perdamaian bisa terwujud jika ada keadilan sosial. Masalahnya, pembangunan yang berjalan selama ini nyaris selalu meminggirkan kehidupan rakyat miskin bahkan seni tradisi. Seni tradisi tidak diperhatikan lalu hampir mati karena seolah dicitrakan tidak sesuai perkembangan zaman.
”Gambaran besarnya adalah bagaimana kalangan warga hidup dengan layak sekaligus tidak kehilangan jati dirinya dalam seni tradisi,” katanya.
Koordinator Luntas, Robert Bayoned, menambahkan, ludruk adalah seni tradisi khas Jatim. Di Surabaya, ludruk pernah menjadi bagian erat dalam kehidupan rakyatnya. Ludruk mungkin satu-satunya seni tradisi yang dipakai oleh warga untuk melawan penjajahan semasa pemerintahan Hindia-Belanda di Jawa, khususnya di Jawa Timur.
”Ludruk punya pahlawan, misalnya Cak Durasim, yang karena kidungnya ditangkap oleh serdadu Jepang dan meninggal dalam masa penahanan,” kata Robert.
Tidak ingin ludruk ditinggalkan, Luntas, menurut Robert, dibentuk sebagai keresahan akan seni tradisi yang kian luntur dalam kehidupan warga Surabaya. Anak-anak muda dalam kelompok itu pun mendobrak lewat sejumlah terobosan dalam seni tradisi khususnya ludruk. Mereka pun menawarkan kesegaran, pembaruan dalam manajemen, tetapi tak mengkhianati pakem seni tradisi itu.
Ludruk pada awalnya dipentaskan di gedung kesenian atau ditanggap oleh kalangan masyarakat. Namun, tiga tahun ini, Luntas mencoba juga mementaskan ludruk di warung kopi, pasar, tempat nongkrong komunitas, kampus, sekolah, bahkan pusat belanja. ”Saat ditampilkan di hotel nanti tentu akan kami tempuh penyesuaian,” ujar Robert.
Penyesuaian seperti apa? Konsumen di hotel tentu berbeda dengan di hadapan rakyat jelata. Bahasa, guyonan, dan ide cerita harus lebih mengena. Luntas juga berkomitmen meniadakan candaan bernada jorok apalagi mengandung unsur SARA. Sebabnya, ludruk ingin didorong sebagai salah satu seni tradisi yang sarat nilai pendidikan seperti di era revolusi yang membangkitkan soliditas rakyat.
General Manager Swiss-belinn Manyar Erick Siahaya mengatakan, merasa senang dapat mengakomodasi pementasan ludruk di hotel itu. Segera dipertimbangkan bahwa pementasan ludruk di sana menjadi paket yang layak jual untuk para wisatawan yang menginap. ”Untuk pementasan besok, ludruk akan dibawakan dalam aula berkapasitas 300 kursi,” katanya.