JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah partai politik memutuskan melanggar pakta integritas untuk tidak mengajukan bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif. Putusan Mahkamah Agung yang membuka peluang bekas narapidana perkara korupsi menjadi caleg, dijadikan pertimbangan utama.
Komisi Pemilihan Umum akan mempublikasikan riwayat hidup semua caleg, termasuk yang bekas napi korupsi melalui sistem informasi pencalonan. Hal itu akan dilakukan setelah menetapkan daftar calon tetap (DCT) untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, serta pasangan calon presiden dan wakil presiden, Kamis (20/9/2018) ini.
Saat ini, KPU masih mempertimbangkan untuk mengumumkan caleg yang bersttaus bekas napi korupsi, di tempat pemungutan suara (TPS) saat pencoblosan 17 April 2019.
Caleg bekas napi korupsi yang akan dimasukkan ke DCT, adalah mereka yang sengketanya dimenangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta memenuhi syarat calon. Sesuai putusan MA pada Kamis pekan lalu, dimana yang dibatalkan hanya frasa “sepanjang frasa mantan narapidana korupsi”, maka calon yang pernah dipidana karena jadi bandar narkoba atau melakukan kejahatan seksual terhadap anak, tetap tidak dimasukkan ke DCT.
Berdasarkan data Bawaslu hingga 17 September 2018, ada 42 bakal caleg bekas napi korupsi yang mengajukan sengketa. Permohonan 36 orang di antaranya dikabulkan Bawaslu, satu kasus dalam proses, dan permohonan sisanya ditolak atau gugur.
Anggota KPU Wahyu Setiawan, Rabu (19/9/2018) di Jakarta, menuturkan, penetapan DCT anggota legislatif bagi para bekas napi kasus korupsi tetap dilaksanakan hari ini. Namun, mereka diberi waktu melengkapi dokumen persyaratan paling lambat tiga hari setelah Peraturan KPU tentang Pencalonan hasil direvisi, diundangkan. Dokumen itu di antaranya, surat keterangan kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana dan salinan putusan pengadilan.
Tetap mengajukan
Sejumlah parpol menyatakan tetap akan mengusung bekas napi korupsi menjadi caleg. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, misalnya, mengatakan, partainya tetap akan mengajukan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Gerindra M Taufik menjadi caleg DPRD DKI Jakarta. Meski Taufik pernah dipidana karena perkara korupsi, Sufmi Dasco mengatakan, “Berdasarkan catatan DPP, tak pernah terjadi sesuatu yang kemudian mencederai nama baik partai atau kemudian kredibilitas yang bersangkutan diragukan.”
Wakil Sekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar mengatakan, sejak awal partainya sudah menginstruksikan agar tidak ada bekas napi korupsi yang menjadi bakal caleg dari Demokrat.
“Jika memang masih ada di daerah, kami mengharapkan laporan dari masyarakat. DPP akan menginstruksikan pengurus di daerah tempat caleg mantan napi itu berada, agar membatalkan pencalonannya,” ujarnya.
Penelusuran Kompas, Jhoni Hasibuan masih terdaftar sebagai bacaleg DPRD Kota Cilegon dari Partai Demokrat. Padahal, ia bekas napi perkara korupsi.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kota Cilegon Rahmatuloh mengatakan, setelah putusan MA keluar, Jhoni tetap dapat mengikuti Pemilu 2019. “Tak ada masalah bagi kami (Jhoni tetap cadi caleg)," tegasnya.
Bahri Syamsu Arief yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN) jug amaish terdaftar sebagai bacaleg DPRD Kota Cilegon. Padahal, seperti halnya Jhoni, Bahri juga bekas napi korupsi.
Di Jambi, juga ada dua calon dari PAN, yaitu Abdul Fattah dan Nasrullah Hamka yang maish terdaftar sebagai bacaleg.
Abdul Fattah adalah mantan Bupati Batanghari yang dijatuhi hukuman satu tahun dan dua bulan penjara dalam perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran tahun 2004. Nasrullah Hamka adalah mantan anggota DPRD Provinsi Jambi yang terlibat korupsi dalam pembangunan lintasan atletik di Stadion Tri Lomba Juang KONI Jambi pad atahun 2012.
Ketua DPW PAN Jambi, Bakri menegaskan, menyerahkan nasib Abdul Fattah dan Nasrullah Hamka pada kebijakan KPU.
Sebelumnya, PAN termasuk enam dari 10 partai pemilik kursi di DPR RI, yang menyatakan tetap tak akan mencalonkan bekas napi korupsi. Selain PAN, lima partai lainnya adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI Perjuangan.
Kebijakan untuk tak mengusung caleg ini, membuat DPD PDI Perjuangan Sulawesi Tengah mencoret Idris Tadji dari calon anggota DPRD Kabupaten Poso. Padahal, bekas narapidana korupsi itu telah memenangkan sengketa di Bawaslu Poso.