Kisah di Balik Sarung Tenun Gresik yang Masih Bertahan hingga Kini
Hingga tahun 2014, sedikitnya masih ada 75 perajin sarung tenun di Desa Wedani, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tetapi, satu per satu perajin memilih menutup usaha. Saat ini, perajin yang mencoba bertahan hanya sekitar 37 perajin, atau berkurang hampir 50 persen. Mahalnya bahan baku terutama benang sutera yang masih impor, bahan pewarna, dan lesunya pasar membuat sebagian perajin beralih menekuni pekerjaan lainnya.
Ada perajin yang bertahan, menyiasati kondisi tersebut dengan hanya berproduksi saat ramai pesanan, seperti menjelang puasa Ramadhan hingga musim haji. Ada pula yang menyiasati dengan cara memadukan bahan baku sutra dan kain setara katun untuk menekan biaya produksi.
Ketua Asosiasi Perajin Tenun Cerme, Mas Ariyatin (35) Jumat (14/9/2018) menuturkan bahan baku utama benang sutera 210 nano meter per 5 kilogram saat ini mencapai Rp 4 juta hingga Rp 4,3 juta. Harga benang sutera itu naik dibandingkan sebelumnya Rp 3,5 juta hingga Rp 3,8 juta.
Perajin pun memadukan benang sutra dengan benang masris, setingkat katun. Selain untuk menekan biaya produksi juga menjaga daya beli. Perajin tidak mungkin menaikkan harga jual sarung tenun yang kini bervariasi antara Rp 250.000 hingga Rp 1,5 juta per lembar.
Menurut Ariyatin, sebagian perajin, ketika permintaan lesu, untuk sementara menekuni pekerjaan lain termasuk bertani dan menjadi tukang atau berdagang. Ia sendiri kini membuka jasa sewa traktor dan mesin panen padi, hingga berdagang kedelai.
Siklus enam bulan
Usaha sarung tenunnya dibuka lagi setiap jelang Ramadhan. “Dulu bisa ekspor, tapi kini lesu, tinggal mengandalkan pasar di Madura dan kawasan wisata ziarah Sunan Ampel Surabaya,” katanya.
Suami Yusrina Ibrati itu menuturkan pada 2004 ia sendiri melibatkan 30 orang pekerja. Omsetnya sebulan sedikitnya lima kodi (100 lembar), setara Rp 50 juta sebulan dengan harga per lembar saat itu Rp 500.000. Bahkan saat ramai bisa menembus Rp 125 juta hinga Rp 150 juta. Hasil produksinya sempat pula diekspor ke Timor Tengah.
Setelah Idul Adha biasanya sepi hingga enam bulan, dan ramai lagi menjelang puasa Ramadhan sampai menjelang musim haji
Dia juga menyebutkan, kendala lainnya, perajin susah mencari tenaga kerja. Regenerasi penenun juga sulit, karena anak-anak muda sekarang lebih memilih bekerja di pabrik daripada menenun. “Saya juga pernah tertipu dibayar cek kosong, senilai 50 juta rupiah,” tutur alumni jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik itu.
Pria yang pernah membuka produksi tahu tempe di Papua ini membuat merek sarung tenunnya “Buah Cerme”. Selain bergambar buah cerme, kata cerme juga merujuk nama kecamatan. Ia hanya bisa mengenang, dulu bisa ekspor 25 kodi per bulan dari produksi 75 kodi per bulan.
Masa panen perajin sarung tenun sekitar enam bulan, masa sepi juga enam bulan. “Setelah Idul Adha biasanya sepi hingga enam bulan, dan ramai lagi menjelang puasa Ramadhan sampai menjelang musim haji,” paparnya.
Jumlah perajin turun signifikan karena ongkos produksi naik. Penyebabnya, bahan sutera dan pewarna masih impor dan bertambah mahal dengan melambungnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang saat ini menembus kisaran Rp 14.800 per dolar. Upaya menyiasati lesunya produksi dengan menjadikan kain tenun menjadi baju atau kemeja, dampaknya juga kurang signifikan.
Ikon Gresik
Seharusnya industri sarung tenun di Wedani ini bisa menjadi salah satu ikon Gresik selain industri songkok (kopiah). Apalagi kopiah dan sarung juga bisa melekat dengan identitas Gresik sebagai kota santri.
Di samping itu ada industri rumahan dengan alat tenun bukan mesin (ATBM), di Gresik serta terdapat pabrik sarung tenun dengan alat tenun mesin (ATM), PT Behaestex. Tetapi, harga sarung tenun tradisional lebih mahal dibanding dengan sarung tenun ATM. Corak serta motif tenun konvensional punya pesona tersendiri.
Penghasil sarung tenun tradisional di Gresik tersebar di Kecamatan Cerme (Wedani, Ngembung, Dungus Iker-iker Geger), dan Benjeng (Jatirembe, Pundut Trate). Di Desa Wedani masih ada 25 unit usaha sarung tenun tradisional yang dikelola keluarga dengan 10 hingga 100 pekerja. Ketrampilan menenun di Desa Wedani dipelajari secara turun temurun.
Penenun seperti Nur Saadah dan Munawaroh bisa menghasilkan 1,5 lembar sarung per hari dengan upah Rp 45.000 sampai Rp 60.000 setiap harinya. Mereka juga mengulung benang juga. Setelah jadi tinggal disetor ke pengusaha sarung tenun.
Masa kejayaan
Menurut pengusaha sarung tenun di Wedani, Siti Fathonah (48), dalam kondisi normal produksi rata-rata mencapai 10 kodi atau 200 lembar sarung per minggu. Dalam satu bulan, usaha yang digeluti bersama suaminya, Tasripin (59), mencapai 40 kodi atau 800 lembar sarung. Keuntungan bersih sebulan mencapai Rp 20 juta hingga Rp 30 juta.
UD Al Arif yang didirikan Tasripin pada 1989 menjadi usaha kerajinan tenun terbesar di Desa Wedani dengan mempekerjakan 162 orang. Motif yang diterapkan meliputi tiga motif utama, 10 motif tambahan, tumpal, motif timbul, dan motif pinggiran.
Tiga motif utama yaitu motif gunungan, kotak, dan kembang. Motif tambahan berupa tumpal (kepala sarung), pinggiran, segitiga, wajik, kembang mawar, gunungan berukuran kecil, dan motif kembangan lainnya. Pada awalnya hanya diproduksi sarung berwarna hijau tua dan cokelat. Kini juga beragam ke warna hijau muda, hijau pandan, oranye, merah muda, kuning, dan ungu.
Usaha suami istri itu mendapatan pembinaan dan bantuan modal dari PT Telkom dan memenangi Penghargaan Usaha Kecil Menengah dari PT Semen Gresik pada 2011. Tasripin belajar menenun dan memahami ciri khas sarung tenun di Gresik.
Merek ternama seperti Donggala, Lamiri, Abu Yaman sebenarnya diproduksi di Wedani. Perajin tenun Wedani diminta pelanggan besar memproduksi sarung dengan merek tersebut
Awalnya, Tasripin membeli satu sarung tenun untuk melihat motif yang ada pada sarung khas Gresik. Saat belum punya modal, ia pun meminjam alat tenun dan satu benang boom dari temannya. Pada 1978 Tasripin mulai merintis usaha kerajinan sarung tenun sendiri lalu dan mendirikan UD Al Arif pada 1989.
Kepala Desa Wedani Rohmat menyebutkan Wedani dikenal sebagai sentra sarung tenun ATBM. Kualitas produksinya tak kalah dari sarung produksi alat tenun modern. Titik kebangkitan usaha tenun terjadi pada 2009, saat ada kerjasama dengan PT Telkom untuk pengembangan usaha tenun. Perajin mendapatkan bantuan modal untuk pengembangan usaha.
Awalnya Wedani jadi sentra tenun bermula pada awal 1975. Saat itu ada pengusaha keturunan asal Arab di sekitar makam Sunan Malik Ibrahim membutuhkan karyawan untuk memproduksi sarung tenun. Mereka mendidik warga Wedani yang berjarak sekitar 8 kilometer dari sekitar makam Malik Ibrahim untuk menjadi perajin tenun hingga diwarisi turun temurun.
Sarung tenun yang diproduksi di Wedani, mayoritas sarung sutera memiliki kualitas bagus. Desain motif dan warna beragam. "Merek ternama seperti Donggala, Lamiri, Abu Yaman sebenarnya diproduksi di Wedani. Perajin tenun Wedani diminta pelanggan besar memproduksi sarung dengan merek tersebut,” tutur Rohmad.
Hingga 2013, tercatat pendapatan masyarakat Wedani dari sektor perdagangan mencapai Rp 113 miliar pertahun. Jumlah ini melebihi sektor pertanian mencapai Rp 7 miliar, perikanan sebesar Rp 7 miliar, peternakan yang hanya Rp 800 juta dan industri rumahan sebesar Rp 90 juta. Saat itu total pendapatan mencapai Rp 135 miliar.
Hingga 2014 di Wedani ada 70 UKM sarung tenun baik kecil maupun besar, baik yang kapasitas pasar lokal maupun ekspor. Produksi pun tersebar hingga Kecamatan Cerme, Benjeng, Balongpanggang dan Duduksampeyan.
Akibat sulitnya mendapatkan karyawan perajin pun membina masyarakat Bojonegoro, Lamongan dan Mojokerto untuk menekuni tenun. Kini, tenun Wedani meredup dihantam mahalnya bahan baku sutera dan pewarna yang masih impor.