Skor indeks negara hukum Indonesia naik tipis pada 2018 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, kenaikan skor ini tidak dapat memotret apakah budaya hukum di masyarakat sudah terbangun ataukah belum.
JAKARTA, KOMPAS Indeks Negara Hukum Indonesia pada 2017 naik tipis dibandingkan dengan indeks yang sama tahun sebelumnya. Meskipun ada kenaikan, masih banyak persoalan hukum yang belum terukur di dalam indeks tersebut. Salah satunya belum berkembangnya kultur hukum di masyarakat.
Indonesian Legal Roundtable (ILR) dan Tahir Foundation meluncurkan indeks negara hukum, Rabu (19/9/2018), di Jakarta. Indeks itu diperoleh melalui kajian ILR atas pendapat ahli terhadap lima prinsip yang diukur, yakni ketaatan pemerintah terhadap hukum, legalitas formal, kekuasaan kehakiman yang merdeka, akses terhadap keadilan, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Sebanyak 120 ahli dengan beragam latar belakang diwawancarai dalam riset ini.
Peluncuran indeks negara hukum kemarin juga menghadirkan sejumlah narasumber sebagai penanggap, yakni Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim; anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Munafrizal Manan; mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan; serta praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan.
Peneliti ILR, Indra Lesmana, mengatakan, indeks negara hukum Indonesia tahun 2017 ialah 5,85 poin. Capaian itu hanya naik 0,54 poin ketimbang 2016. ”Dengan capaian ini, indeks negara hukum Indonesia bisa dikategorikan cukup. Artinya, masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam prinsip-prinsip dan indikator negara hukum yang terkandung di dalamnya supaya Indonesia benar-benar bisa menggambarkan dirinya sebagai negara hukum,” katanya.
Indra mengatakan, kenaikan tipis itu juga dibayangi oleh pertanyaan besar publik mengenai konsistensi dan komitmen pemerintah di tahun ketiga pemerintahan. Secara normatif, politik hukum pemerintah terdokumentasikan dalam Nawacita ataupun Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional serta program revitalisasi dan reformasi hukum. Namun, prinsip- prinsip negara hukum dalam penerapannya ternyata belum mencapai predikat baik.
”Politik hukum pemerintah sepanjang 2017 cenderung diorientasikan pada dukungan terhadap pembangunan sektor ekonomi atau infrastruktur dibandingkan dengan penegakan hukum,” kata Indra.
Kenaikan tertinggi dalam skor indeks negara hukum ditemukan dalam prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kenaikan ini diikuti dengan prinsip akses terhadap keadilan, prinsip legalitas formal, serta prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum dan prinsip HAM.
Sekalipun skor prinsip kekuasaan kehakiman naik, ada catatan penting, antara lain dengan masih adanya sikap yang berseberangan antara Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) terkait pentingnya prinsip shared responbility atau pembagian tanggung jawab bersama lembaga negara dalam mewujudkan mekanisme checks and balances. Harapannya, selain untuk menjaga independensi hakim, mekanisme checks and balances juga bisa menjamin akuntabilitas peradilan.
Belum membudaya
Maruarar menilai indeks negara hukum yang naik tipis ini harus diapresiasi. Kendati demikian, belum ada indikator yang mengukur tentang legal culture atau budaya hukum di masyarakat sehingga belum sepenuhnya bisa diakui adanya kesadaran hukum di dalam masyarakat.
”Kerangka hukum itu ada tiga, yakni substansi yang berupa undang-undang, struktur yang berisikan pejabat atau penegak hukum, dan legal culture. Belum ada dalam indeks ini legal culture,” katanya.
Selain itu, acap kali lembaga negara ataupun pejabat tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Tak jarang ditemui lembaga membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan UU.
Di sisi lain, Munafrizal menyayangkan indeks negara hukum yang tidak menyertakan indikator berupa penyelesaian kasus-kasus HAM berat masa lalu. Selama ini kasus HAM berat menyandera pemerintahan.
”Sampai saat ini Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM soal pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujarnya.