Bukan Sekadar Peringatan Insiden Perobekan Bendera Belanda
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
Lebih dari 3.000 orang terlibat dalam aksi teatrikal peringatan insiden Hotel Yamato, Rabu (19/9/2018) pagi di depan Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur.
Kalangan siswa SMP dan SMA, mahasiswa, anggota Polri, personel TNI, anggota Legiun Veteran, serta pegawai negeri sipil Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur berbaris di depan Hotel Majapahit, sisi tenggara Jalan Tunjungan.
Tepat pukul 07.45 WIB, aksi teatrikal dimulai. Cerita tentang insiden 73 tahun lalu ketika Arek Surabaya menurunkan dan merobek bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Yang dirobek adalah bagian biru bendera Belanda (merah putih biru) demi berkibarnya bendera Indonesia (merah putih).
Sejarah mencatat, perobekan itu diwarnai kericuhan yang menewaskan seorang pimpinan tentara Belanda bernama WV Ploegman. Ia tewas dicekik pemuda bernama Sidik yang kemudian tewas akibat ditikam serdadu Belanda.
Malam sebelum hari insiden, Ploegman dan kelompok Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato. Hotel yang sebelumnya bernama Oranje itu merupakan markas sementara Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) di mana AFNEI berada di dalamnya. Tujuan RAPWI adalah mengurusi prajurit Jepang dan Belanda terkait berakhirnya Perang Asia Timur Raya bagian dari Perang Dunia II.
Berkibarnya bendera Belanda memicu kemarahan publik Surabaya. Sebab, sejak 1 September 1945, Presiden Soekarno memerintahkan pengibaran Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Publik berkumpul di depan Hotel Yamato dan menuntut penurunan bendera Belanda. Insiden tidak terhindari sebab Belanda menolak menurunkan bendera itu sementara kalangan pemuda nekat memanjat, menurunkan belanda Belanda, dan menyobek bagian birunya. Penyobekan bagian biru itu diduga karena pemuda Surabaya lupa tidak membawa merah putih.
Budayawan Heri Prasetyo atau Heri Lentho, koordinator skenario Surabaya Merah Putih, mengatakan, insiden Hotel Yamato memantik kemarahan militer Belanda yang merupakan bagian dari sekutu, pemenang Perang Dunia II. Di sisi lain, warga Indonesia, khususnya di Surabaya, meyakini bahwa mereka telah merdeka dan kehadiran sekutu merupakan penjajahan.
Insiden itu memicu rentetan konflik berdarah yang salah satunya bermuara pada pertempuran paling berdarah, yakni 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan.
Heri menilai insiden Hotel Yamato merupakan insiden pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan yang memakan korban jiwa antara bangsa Indonesia dan Belanda (sekutu). Peristiwa di Jalan Tunjungan itu turut memicu insiden-insiden berdarah lainnya, antara lain Pertempuran Semarang dan Pertempuran Surabaya.
Dalam kesempatan terpisah, budayawan Meimura meyakini insiden Hotel Yamato terjadi karena provokasi pengibaran bendera Belanda. Bagi rakyat Indonesia, ketika itu, mereka yakin sudah merdeka sehingga kedatangan militer asing tentu untuk menjajah. ”Dalam konteks kehidupan saat ini, warga Surabaya perlu mengambil hikmah keberanian rakyat ketika itu untuk menolak penjajahan,” katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam pidato kebangsaan mengatakan, insiden Hotel Yamato patut dimaknai warga ”Kota Pahlawan” agar selalu berani menentang dan melawan kezaliman. Publik diminta turut aktif mengisi era kemerdekaan dengan terlibat dalam pembangunan untuk memenuhi tujuan mulia kemerdekaan, yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Menurut Risma, keberanian warga Surabaya hari ini perlu diwujudkan dalam hal berbeda. Jika dahulu berani meregang nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan, saat ini berani terlibat dalam berbagai aktivitas yang memajukan kepentingan publik. Jadilah warga negara yang taat hukum.
Aksi teatrikal peringatan insiden Hotel Yamato dalam sudut pandang lain merupakan kegiatan yang bersifat mendidik dan menghibur. Kalangan peserta kegiatan mengatakan, aksi teatrikal yang ada setiap tahun ini merupakan aktivitas potensial untuk dikenalkan kepada publik dan wisatawan.
Selain insiden Hotel Yamato, warga Surabaya biasanya juga memperingati Hari Pahlawan yang salah satunya diisi dengan aksi teatrikal, festival, dan kegiatan lainnya. Sebagai event rutin dalam perspektif kepariwisataan, peringatan insiden boleh jadi amat menarik bagi para pendatang ke Surabaya atau warganya. ”Agar warga Surabaya tidak kehilangan memori kolektif tentang masa lalunya,” kata Meimura.