Pada malam pemutaran perdana film “10 Days Before the Wedding” awal September silam, sutradara Yaman, Amr Gamal, gelisah. Ia deg-degan menunggu apakah akan ada orang yang mau datang untuk menonton filmnya. Ternyata, ada banyak penonton yang datang. Bahkan, kursi selalu penuh setiap kali film diputar. Padahal, filmnya diputar di gedung pertemuan di Aden, Yaman selatan, yang disulap menjadi bioskop darurat. Gamal tak menduga warga Aden antusias menonton film, meski Yaman sedang dilanda perang.
Setiap malam, aula gedung pertemuan selama lebih dari satu pekan dipenuhi orang dewasa dan anak-anak setelah mereka membeli camilan berondong jagung di depan bioskop darurat itu. Layar yang digunakan hanya layar proyektor biasa. “Ketakutan terbesar kami adalah tidak akan ada orang yang datang menonton karena masyarakat sedang ketakutan. Hal ini di luar dugaan,” kata Gamal setelah pemutaran.
Film perdana Gamal itu menceritakan kehidupan pasangan calon pengantin Yaman, Rashad dan Maamoun. Pesta pernikahan ditunda gara-gara perang Yaman yang berkecamuk pada 2015.
Setelah perang berakhir, dua anak muda itu kembali berusaha untuk menikah, tetapi masalahnya menjadi kian rumit. Bukan perang masalahnya tetapi persoalan pasca perang seperti kemiskinan, pembunuhan, dan pertempuran sporadis. “Banyak ambisi dan mimpi hancur gara-gara perang di Arab ini,” tutur Gamal.
Film ini disukai warga Aden karena menyuarakan pengalaman dan penderitaan rakyat Yaman akibat perang dan dampak setelah perang. “Film luar biasa, sesuai kenyataan yang kami rasakan,” ujar seorang penonton.
Gamal harus bergelut mencari dana untuk memproduksi filmnya yang menghabiskan sekitar 30.000 dollar AS (Rp 446 juta). Film diproduksi saat Yaman dilanda perang. Setelah film selesai dibuat, muncul masalah: tak ada bioskop untuk menayangkannya. Bioskop-bisokop tutup karena ketiadaan dana dan rusak gara-gara dihantam bom.
Selama syuting, tim produksi jatuh bangun menangani masalah listrik yang sering padam berjam-jam. Belum lagi sinyal ponsel sering hilang. “Kami harus mendatangi satu per satu rumah pemain untuk memberitahu perubahan jadwal atau lokasi. Terpaksa begitu karena tak ada sinyal hp,” ujar Gamal.
Gamal bersyukur filmnya selesai. Hal ini, menurut dia, berkat bantuan warga Aden. Saat tim syuting di jalan, warga membawakan air minum, bersorak menyemangati, dan menawari kru untuk memakai rumah serta toko untuk kepentingan syuting tanpa biaya. “Memproduksi film di kondisi Yaman saat ini memang gila. Namun, penonton merasa film ini mewakili mereka,” paparnya.
Film Gamal menambah jumlah film yang dibuat dan diputar di Yaman selama 20 tahun terakhir. Puluhan tahun sutradara-sutradara Yaman berjuang membuat film demi menunjukkan kondisi rakyat dan negeri mereka. Menyusul penyatuan wilayah utara dan selatan pada 1990, Yaman berangsur-angsur kehilangan bioskop dan dunia sinema karena fatwa-fatwa agama, kelalaian, kemiskinan, dan perang.
Namun, pembuat film di Yaman tak mau menyerah. Mereka terus berusaha menghasilkan film berbahasa Arab. Contohnya film dokumenter pendek “Karama Has No Walls” karya Sara Ishaq yang memperoleh nominasi piala Oscar. Film mengisahkan pengunjuk rasa di Kota Sanaa yang ditembak penembak jitu. “Karama” atau karma adalah tema protes yang terjadi pada 18 Maret 2011, yang dianggap sebagai hari paling berdarah dalam sejarah Yaman.
Pembuat film dokumenter Yaman, Khadija al-Salami, juga menjadi terkenal dengan filmnya, “I am Nojoom, Age 10 and Divorced” tahun 2014. Film menceritakan kisah nyata Nojood Ali, pengantin muda berusia 10 tahun yang melawan keputusan ayahnya yang memaksa dirinya menikah. Nojoom maju sendiri ke sidang pengadilan untuk menuntut cerai. Tuntutannya dikabulkan dan ia menjadi anak Yaman pertama yang diperbolehkan untuk bercerai. (AFP)