Sistem Demokrasi dari Naskah Nusantara Perlu Diadaptasi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah sistem kekuasaan di Indonesia yang sudah ada sejak zaman dahulu perlu untuk diadaptasi dan diperhatikan. Lewat hal itu, diharapkan pergaulan antara konstitusi dan sistem hukum negara dengan kehidupan cara pandang rakyat sehari-hari bisa didekatkan sehingga tercipta harmonisasi dan keselarasan.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara bertajuk ”Aktualisasi Hukum Adat dan Pemerintahan dalam Naskah Nusantara” yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, saat ini kondisi negara sedang dalam situasi yang rentan. Sebaiknya elite pemerintahan memberi perhatian terhadap tradisi kebudayaan adat yang telah lama di Indonesia ini agar tidak punah. Ada tanggung jawab yang besar untuk menghubungkan antara tradisi lokal dan ide-ide yang mengalami globalisasi.
”Pembentukan hukum tata negara adat yang diadaptasi dari sejarah bangsa sendiri itu penting. Bagaimana ide abstrak itu merakyat sekaligus bagaimana tradisi kekuasaan adat tata negara yang hidup di masyarakat itu diangkat ke atas,” ujar Jimly.
Sistem kekuasaan di Indonesia tecermin dari peninggalan-peninggalan sejarah milik kerajaan lama. Misalnya, sekitar abad ke-8 SM, Kerajaan Gowa Sulawesi dalam catatan sejarah menganut sistem demokrasi dalam pemilihan raja koordinator atau raja besar.
”Sistem demokrasi itu sudah dibangun sejak dahulu. Kekurangannya adalah kita kurang memperhatikan praktik-praktik tentang sistem kekuasaan zaman dahulu di Indonesia yang sudah ada,” kata Jimly.
Sistem demokrasi itu sudah dibangun sejak dahulu. Kekurangannya adalah kita kurang memperhatikan praktik-praktik tentang sistem kekuasaan zaman dahulu di Indonesia yang sudah ada.
Selain itu, terdapat sejumlah naskah Nusantara yang memiliki hukum adat khas. Misalnya, dalam Harun (2018), sejarah pemerintahan di Minangkabau pernah menghasilkan sebuah naskah berjudul ”Undang-Undang Minangkabau”. Dalam naskah itu mengandung berbagai aspek amalan kepercayaan dan falsafah hidup masyarakat Adat Perpatih, termasuk dalam hal pemerintahan dan penentuan hukuman.
Ciri khas ”Undang-Undang Minangkabau” itu tentang segala peraturan, undang-undang, dan hukum adat disampaikan melalui ungkapan pepatah adat yang kaya dengan kiasan. Peraturan itu memberi penekanan terhadap tugas raja selaku ketua negara yang perlu memerintah berdasarkan aturan adat dan ajaran agama Islam.
Seorang pemimpin digambarkan memiliki ilmu pengetahuan dalam urusan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, serta urusan fisik dan spiritual. Hal itu seyogianya dapat menjadi panduan bagi orang-orang yang ingin menjadi pemimpin masyarakat di zaman sekarang.
”Naskah ini sumber asal tentang adat istiadat pemerintah yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat zaman sekarang,” ujar Jelani Harun, peneliti sastra dari Universitas Sains Malaysia.
Jelani menjelaskan lebih lanjut, naskah Nusantara hukum adat dan naskah Nusantara ketatanegaraan berbeda. Naskah ketatanegaraan mengandung nasihat dan panduan pemerintahan kepada raja-raja dan pembesar. Naskah ketatanegaraan boleh menjadi asas yang penting dalam pembinaan citra pemimpin dan pembangunan masa kini.
”Asas kepemimpinan terbentuk berdasarkan pengalaman bangsa bertahun-tahun. Konteks zaman itu penting, bagaimana perkembangannya tidak boleh terputus sehingga selaras dengan keadaan zaman sekarang,” tutur Jelani. (MELATI MEWANGI)