Sapi Ternak Milik Warga Ganggu Ekosistem Taman Nasional Baluran
Oleh
Angger Putranto
·3 menit baca
SITUBONDO, KOMPAS — Keberadaan sapi ternak di areal Taman Nasional Baluran menganggu ekosistem sejumlah satwa di Taman Nasional Baluran. Akibatnya, ada indikasi perubahan perilaku satwa hingga fragmentasi satwa endemik Taman Nasional Baluran.
Sapi-sapi ternak yang masuk ke dalam Taman Nasional Baluran tersebut merupakan peliharaan warga yang tinggal berbatasan dengan Taman Nasional Baluran ataupun warga di areal pendudukan kawasan Taman Nasional Baluran. Sedikitnya ada 3.658 sapi yang digembalakan di dalam wilayah Taman Nasional Baluran.
Menurut Kepala Balai Taman Nasional Baluran Bambang Sukendro, ribuan sapi warga tersebut sudah digembalakan di areal taman nasional sejak tahun lalu. ”Data tahun 2017 menunjukkan, dari 2.135 sapi warga Dusun Sidomulyo, 1.624 sapi di antaranya digembalakan di wilayah Taman Nasional Baluran. Sementara populasi sapi Dusun Merak yang berada di dalam area Taman Nasional mencapai 2.034 ekor,” ujar Bambang ketika ditemui di Situbondo, Selasa (18/9/2018).
Jumlah tersebut lebih banyak daripada jumlah benteng yang menjadi satwa endemik atau spesies kunci (prioritas) di Taman Nasional Baluran. Data Taman Nasional Baluran mencatat terdapat 77 ekor banteng hingga tahun 2017.
Bambang mengakui, banyaknya penggembalaan sapi di Taman Nasional Baluran menyebabkan fragmentasi habitat (proses perubahan lingkungan yang menyebabkan luasan habitat semakin menyempit). Hal ini membuat satwa liar tidak lagi menempati lokasi yang dijadikan tempat penggembalaan.
Taman Nasional Baluran, lanjut Bambang, sudah beberapa kali berupaya mengendalikan penggembalaan sapi di dalam lahan Taman Nasional Baluran. Namun, hal itu tidak mudah karena penggembalaan sudah berlangsung lama.
”Pada tahun 1960 aktivitas penggembalaan sapi di dalam area yang kini menjadi Taman Nasional. Banyaknya penggembalaan di area Taman Nasional terjadi karena keterbatasan lahan ternak, rendahnya ekonomi dan pendidikan warga di sekitar Taman Nasional, serta kurangnya koordinasi antara Taman Nasional dan warga,” ujarnya.
Okupansi penggembalaan sapi mencapai 9 km dari tempat tinggal penggembala. Daerah tersebut bahkan sudah memasuki zona inti taman nasional yang menjadi habitat satwa liar yang dilindungi.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan, masuknya sapi ternak penggembalaan warga ke zona inti taman nasional berakibat pada penyempitan habitat, jumlah, dan perubahan perilaku banteng.
”Ada pergeseran kawasan habitat hidup banteng. Pada awal tahun 2000-an sangat mudah mengamati banteng dari menara bekol. Namun, sekarang sangat jarang banteng muncul di sana. Habitat banteng tergeser karena ada aktivitas penggembalaan sapi,” ujar pria yang banyak meneliti tentang Taman Nasional Baluran tersebut.
Satyawan mengatakan, luas penggembalaan sapi mencapai 5.596 ha atau sekitar seperlima dari luas TN Baluran yang mencapai 25.000 ha. Banteng memiliki kecenderungan pergi menjauh saat mendapat gangguan karena ia tidak dapat hidup dengan kelompok binatang lain.
Selain menyingkir, perlahan terjadi perubahan perilaku banteng. Hal itu tampak dari aktivitas banteng yang semula siang hari menjadi malam hari. Akibatnya, waktu dan tenaga banteng banyak terkuras untuk meningkatkan kewaspadaan daripada untuk makan.