BEKASI, KOMPAS — Aksi terorisme diduga memanfaatkan nilai-nilai patriarki untuk melibatkan perempuan sebagai pelaku. Oleh karena itu, penyebaran ide kesetaraan jender dan hak perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri semakin penting.
Komisaris Besar Jacobus Alexander Timisela, Kepala Bagian Pengkajian Manajemen Keamanan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) di Polres Metro Bekasi Kota, Selasa (18/9/2018), mengatakan, Pusat Studi Terorisme dan Radikalisme STIK-PTIK meneliti tentang keterlibatan perempuan dalam terorisme. Penelitian dilakukan di lima kepolisian daerah (polda), yaitu Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur, Polda Jawa Barat, Polda Banten, dan Polda Riau.
”Setelah pengeboman di Surabaya, Jawa Timur, ada kecenderungan baru bahwa pelaku teror tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Penelitian dilakukan di daerah yang pernah terjadi aksi terorisme oleh perempuan,” kata Timisela.
Timisela yang juga menjabat sebagai ketua tim peneliti menambahkan, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan pandangan warga dari kalangan akademisi, tentara, tokoh agama, dan wartawan mengenai terorisme dan keterlibatan perempuan. Para peneliti juga menggali informasi dari perempuan yang pernah terlibat terorisme.
”Sejauh ini, kami menemukan bahwa motif keterlibatan mereka adalah karena menaati perintah suami,” ujar Timisela. Perempuan cenderung terbelenggu konstruksi sosial yang menempatkannya di bawah laki-laki. Oleh karena itu, saat menjadi istri, mereka tidak membantah ajakan suami untuk melakukan tindakan radikal.
Timisela menambahkan, ketimpangan ekonomi juga menjadi alasan keterlibatan perempuan. Mereka bersedia bergabung dengan organisasi teroris karena dijanjikan perbaikan tingkat kesejahteraan.
Menurut dia, dalam budaya masyarakat yang masih patriarki, peluang perempuan dimanfaatkan dalam terorisme terus terbuka. Oleh karena itu, kajian ilmiah diperlukan untuk menganalisis situasi, kemudian merumuskan langkah-langkah pencegahan yang relevan.
Hasil penelitian yang dilakukan sejak awal September ini akan diseminarkan pada 30 Oktober 2018. ”Kami akan mengundang perwakilan dari 70 negara untuk berpartisipasi dalam seminar,” kata Timisela.
Kesetaraan jender
Anggota tim peneliti sekaligus anggota Badan Penjamin Mutu STIK-PTIK, Komisaris Besar Frankie S Pakpahan, mengatakan, keterlibatan perempuan dalam terorisme bisa dicegah dengan membudayakan kesetaraaan jender dalam masyarakat. Dalam hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan, diharapkan tidak ada perintah salah satu pihak yang bersifat dogmatis.
”Perempuan pun bisa punya pendapat untuk menentukan jalan hidupnya,” ujar Frankie. Perempuan tidak harus mengikuti perintah orang lain, apalagi yang mengarah pada tindakan mencederai orang lain.
Di samping itu, Frankie mengimbau agar masyarakat lebih peduli terhadap lingkungan. Kecenderungan masyarakat saat ini apatis terhadap tetangga baru. Sikap tersebut memberi ruang gerak yang luas bagi kelompok teroris merancang dan menjalankan aksinya di lingkungan masyarakat.