Penyederhanaan Regulasi Dorong Investasi Sektor Energi Terbarukan
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tarif listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan belum ekonomis. Hal itu karena butuh biaya besar untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan. Penyederhanaan regulasi dan komitmen pemerintah mengembangkan energi terbarukan akan menarik banyak investor di sektor ini. Pada akhirnya, tarif listrik dari energi terbarukan akan lebih terjangkau karena tidak dimonopoli satu investor.
Menurut Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir, tarif listrik dari energi terbarukan belum ekonomis. Tarif listrik yang dihasilkan dari tenaga bayu masih 10 sen dollar AS per kilowatt jam, sedangkan dari batubara hanya 4 sen dollar AS per kilowatt jam.
Kondisi itu menyebabkan PLN masih mengandalkan pembangkit listrik dari energi fosil. Saat ini, hampir 60 persen pembangkit yang dioperasikan PLN memakai batubara sebagai energi primer.
Direktur Produksi Black and Veatch (perusahaan konsultan penyedia rekayasa teknis, pengadaan, dan konstruksi tenaga listrik) Abhay Telang, Selasa (18/9/2018), mengatakan, peningkatan investasi energi terbarukan di Indonesia berperan penting menyeimbangkan produksi pembangkit listrik antara energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah bisa mulai menyederhanakan regulasi dan perizinan.
Penyederhanaan regulasi akan membuat iklim kepastian berusaha di Indonesia menjadi menarik bagi investor. Menurut Abhay, proyek pembangunan pembangkit listrik EBT membutuhkan biaya yang besar karena tingkat penguasaan teknologinya tinggi. Karena nilai investasinya tergolong tinggi, tarif listrik yang dihasilkan pun menjadi jauh lebih mahal dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan pembangkit batubara.
Sebagai perbandingan, nilai investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bisa menelan sekitar 4 juta dollar AS per megawatt. Nilai itu jauh lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang berkisar 1,5 juta hingga 2 juta dollar AS per megawatt.
Black and Veatch saat ini menjadi konsultan di empat pembangkit listrik tenaga surya, yaitu di Kalimantan Selatan sebesar 12 megawatt serta Pulau Selayar di Sulawesi Selatan dan Kepulauan Kei Kecil di Maluku, Sumatera, dan Gorontalo sebesar 10 megawatt.
”Tarif listrik dari pembangkit EBT sebenarnya bergantung pada lokasi dan besaran proyek. Penyederhanaan regulasi membuat pemain (investor) makin banyak sehingga tarif listriknya akan bisa bersaing,” ujar Abhay di Jakarta.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, realisasi investasi sektor energi terbarukan di Indonesia sebesar 1,3 miliar dollar AS pada 2017. Jumlah tersebut turun dari 2016 yang mencapai 1,6 miliar dollar AS.
Abhay menceritakan mengenai kondisi pembangkit listrik EBT di negara asalnya, India. Di India, tarif listrik yang dihasilkan pembangkit EBT juga relatif mahal pada awalnya. Namun, menurut dia, lambat laun tarif listrik itu mengalami penurunan.
Sementara itu, Senior Vice President and Managing Director Black and Veatch Jim Schnieders mengatakan, pembatasan investasi asing akan terus menjadi tantangan dalam industri ini. Ia berpendapat, kendala seputar persyaratan dan perizinan serta kewajiban menggunakan komponen lokal juga batasan tarif memperlambat pengembangan pembangkit listrik EBT.
Lebih lanjut, ia menerangkan, energi terbarukan akan berperan lebih besar dalam memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat setiap tahun. Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan energi nasional meningkat sekitar 12 per tahun.