Kebijakan pengelolaan keuangan saat ini belum berpihak kepada daerah yang berkomitmen menjaga hutan dari eksploitasi tambang dan kebun. Tak heran daerah tampak ”tutup mata” ketika hutan dirambah atau dirusak.
JAKARTA, KOMPAS — Pembagian dana alokasi umum atau DAU saat ini belum mendorong daerah untuk mengelola hutan secara lestari. Kebutuhan fiskal daerah sebagai pemilik hutan sangat tinggi untuk melindungi daerahnya tetapi memiliki kemampuan fiskal rendah karena mengerem eksploitasi sumber daya alamnya.
Stimulasi dan gairah daerah untuk mengelola hutan ini bisa diwadahi melalui stimulus keuangan, yaitu pemberian DAU yang adil. Luas tutupan hutan primer dan sekunder agar menjadi indikator wilayah—satu dari sekian banyak indikator—dalam penghitungan DAU.
”DAU saat ini menguntungkan daerah yang \'merusak\' hutan, tetapi merugikan daerah yang jaga hutan,” kata Sonny Mumbunan, peneliti Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC UI), Senin (17/9/2018) di Jakarta.
Dalama paper berjudul ”DAU bagi Kabupaten Kaya Hutan”, semakin tinggi proporsi luas hutan yang dimiliki kabupaten, pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten cenderung turun. Hal ini akan dibahas dalam Konferensi Transfer Fiskal untuk Kabupaten Kaya Hutan pada 18 September 2018 di Jakarta.
Pengamatan lain, semakin tinggi proporsi luas hutan kabupaten, dana bagi hasil (DBH) Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) kabupaten cenderung turun. Dan, semakin tinggi proporsi luas hutan kabupaten, tingkat ekonomi kabupaten (ditunjukkan produk domestik regional bruto/PDRB per kapita kabupaten) cenderung tetap atau sedikit turun.
Ia melihat kabupaten kaya hutan dihadapkan pada kebutuhan keuangan tinggi tetapi memiliki kemampuan keuangan rendah. Ada kecenderungan, dengan komposisi penghitungan ekonomi saat ini, daerah yang berkomitmen menjaga hutan tidak diuntungkan secara ekonomi.
Padahal daerah itu berkontribusi bagi pengaturan iklim dan penahan bencana serta berkontribusi pada penurunan deforestasi terkait pengendalian perubahan iklim. Sumber emisi Indonesia saat ini masih didominasi dari perubahan peruntukan lahan/hutan. Daerah memiliki kontribusi besar untuk menyukseskan penurunan emisi dari sektor hutan/lahan ini.
Sonny mengatakan dukungan keuangan kepada daerah melalui DAU dipilih karena DAU memberikan dana kepada daerah dalam jumlah yang relatif lebih besar. Karenanya, DAU ideal sebagai sumber dana serta daerah fleksibel memanfaatkannya.
Dengan besaran dana ini, DAU potensial menjadi insentif bagi daerah kaya hutan. DAU bisa digunakan untuk mendanai kegiatan yang tidak terkait langsung dengan - tetapi penting bagi - perlindungan hutan seperti kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Simulasi
Dengan memasukkan luas hutan primer dan sekunder dalam indikator luas wilayah perhitungan DAU, ia mensimulasikan Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara yang memperoleh DAU 2016 sebesar Rp 807,83 miliar bisa mendapatkan DAU Rp 915 miliar. Simulasi pada daerah dengan luas hutan lebih kecil pada Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah, tambahan DAU hanya berkisar Rp 9,77 miliar.
“Hakekat perhitungan DAU bersifat zero-sum, penambahan indikator dan bobot berarti DAU naik untuk daerah tertentu sekaligus DAU turun untuk daerah lain karena jumlah keseluruhan DAU tetap sama,” kata Sonny.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua Barat Charlie Danny Heatubun menyambut baik riset RCCC UI terkait fiskal bagi daerah berhutan ini. ”Masyarakat adat di Papua saat ini merasa iri/cemburu karena menjaga hutan tapi pemberdayaan seperti restorasi ekosistem dan reboisasi justru ke Sumatera dan Kalimantan yang hancur hutannya,” katanya.
Ia mengatakan perubahan cara pikir diperlukan untuk mendorong pelestarian hutan. Ia mencontohkan Provinsi Papua Barat, yang mendeklarasikan sabagai Provinsi Konservasi, berniat mengubah tata ruang wilayah yang saat ini 36 persen hutan lindung dan konservasi menjadi 64 persen. Riset terkait DAU ini pun nantinya juga dipaparkan di kegiatan International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) di Manokwari, Papua Barat 7-10 Oktober 2018.