Tenaga Surya yang Mengairi Desa
Banyumeneng nama dusun ini. Dalam bahasa Jawa, banyu berarti air, meneng berarti diam. Dusun itu memiliki mata air. Namun, berpuluh tahun, tidak semua warga dusun bisa menikmati alirannya karena letaknya yang jauh dan berada di bawah. Kini, sudah tidak lagi.
“Dulu, air itu seperti barang mewah. Sekarang, sudah lumayan. Tidak terlalu sulit lah,” ujar Suradi (49), warga Dusun Banyumeneng I, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, di teras rumahnya, Jumat (31/8/2018).
Suradi menceritakan, desa tempatnya tinggal itu langganan kekeringan selama puluhan tahun. Hal itu tampak dari tipologi tanah yang berupa batuan kapur. Jika musim kemarau tiba, bisa dipastikan warga akan kesulitan air dan harus merogoh saku lebih dalam guna membeli air bersih.
Sumber mata air terdekat dari dusun itu berjarak sekitar 2 kilometer, tepatnya berada di Dusun Banyumeneng III. Adapun nama sumber air tersebut adalah Kali Gede.
Suradi menyampaikan, sekitar tahun 2000, pihak desa memasangi sumber mata air itu dengan pompa air untuk dialirkan ke tiga dusun yang berada di sekitar sumber mata air tersebut. Ketiga dusun itu adalah Dusun Banyumeneng I, Dusun Banyumeneng II, dan Dusun Banyumeneng III. Air dari bawah tanah dipompa ke atas untuk dialirkan ke tampungan air milik kelompok warga yang ada di dusun-dusun tersebut.
Namun, air bersih kerap tidak berhasil dialirkan di Dusun Banyumeneng I dan Dusun Banyumeneng II. Hal itu disebabkan, jarak kedua dusun yang cukup jauh dan letaknya yang berada di dataran lebih tinggi. Selain itu, diesel yang digunakan sebagai tenaga pemompa air juga kerap bermasalah sehingga tidak menghasilkan cukup daya untuk mengangkut air. Jika hal itu terjadi, warga terpaksa mengambil air menggunakan jeriken langsung ke sumber mata air tersebut.
Kala itu, tidak mudah untuk mengambil di sumber mata air tersebut. Jalan yang dilalui cukup terjal dan berupa pecahan-pecahan batu kapur yang tak rata. Jalanan menurunnya juga cukup curam sehingga cukup membahayakan apabila mengendarai sepeda motor untuk mengambil air tersebut. Adapun lebar jalannya itu hanya sekitar 2 meter.
“Kami mengambil air dengan membawa jeriken-jeriken. Setidaknya, kami bolak balik lima kali untuk mengambil air,” tutur Suradi.
Inovasi KKN
Keinginan masyarakat untuk menyudahi persoalan air bersih itu muncul tahun 2009. Angin segar dibawa oleh tim Kuliah Kerja Nyata Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (KKN-PPkM) dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Desa Giriharjo dipilih menjadi salah satu tempat untuk melanjalankan kegiatan tersebut. Penyediaan air bersih bagi masyarakat termasuk salah satu program yang dikerjakan tim dalam kegiatan tersebut.
Baca juga: Desa Menyimpan Potensi Besar
Tim KKN PPkM UGM menawarkan solusi pengangkutan air ke tiga dusun yang berada di sekitar sumber mata air Kali Gede, yaitu Dusun Banyumeneng I, Dusun Banyumeneng II, dan Dusun Banyumeneng III. Mereka pun membuat sistem pengangkatan air menggunakan panel tenaga surya.
Sistem tersebut telah mengalami beberapa kali pengembangan dengan melibatkan pihak swasta, yaitu Alstom Foundation, pada 2014, dan Indonesia Climate Change Trust Fund, pada 2016. Dalam setiap pengembangan, pihak UGM yang membangun pertama kali sistem itu terlibat secara aktif melalui program KKN PPkM. Dari beberapa pengembangan, kini, total panel surya yang tersedia ada 120 lembar, setara dengan 8.000 Wp (watt peak).
Dengan sistem tenaga surya, air diangkut dari sumber mata air menuju tempat tampungan air yang ada di setiap dusun. Tempat tampungan air itu berukuran 5.000 liter. Lalu, dari tampungan tersebut disambungkan ke tampungan air milik warga dusun yang berukuran 2.000 liter. Satu tampungan itu untuk lima keluarga. Pengaliran ke rumah masing-masing warga dilakukan secara bergilir tiap harinya.
Kepala Desa Giriharjo Aris Eko Widiyanto mengungkapkan, keterlibatan mahasiswa itu mampu membuat desa menjadi lebih maju. Hal itu dimungkinkan, karena mahasiswa dengan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dalam bangku perkuliahan, bisa memberikan pandangan baru terhadap masyarakat desa tentang pemecahan masalah yang dihadapi oleh warga desa.
“Inovasi yang dimiliki oleh mahasiswa dapat membantu desa mencari penyelesaian masalah. Dengan pandangan yang berbeda, mahasiswa juga mampu membuat masyarakat desa untuk bisa mengetahui, dan selanjutnya mengelola potensi yang mereka miliki,” kata Aris.
Aris menjelaskan, warga sangat tertolong karena tidak lagi perlu merogoh kocek terlalu dalam demi air bersih. Warga yang anggota keluarganya lebih dari empat, hanya perlu mengeluarkan biaya Rp 100.000-120.000 per bulan.
“Jika tidak menggunakan sistem tenaga surya, warga harus membeli air bersih dari tangki. Mereka bisa menghabiskan Rp 240.000 per bulan untuk itu,” jelas Aris.
Awalnya, sebagai percontohan, hanya ada 30 keluarga yang memanfaatkan jasa pengangkutan air tenaga surya itu. Jumlahnya bertambah menjadi sekitar 170 keluarga hingga saat ini.
Terkait hal itu, Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM Irfan Dwidya Prijambada mengatakan, KKN PPkM mendorong mahasiswa untuk memahami masyarakat dan memanfaatkan ilmunya guna membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan mereka. Dengan demikian, masyarakat tidak sekadar diberikan bantuan tetapi dilibatkan secara aktif agar selanjutnya bisa mandiri.
“Dengan ilmunya, mereka mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi masyarakat. Itu nanti berdampak pada terangkatnya (kehidupan) masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam pembangunan sekaligus membuat masyarakat merasa bertanggung jawab untuk ikut merawat apa yang telah dibangun di desanya,” kata Irfan.
Kelemahan
Akan tetapi, sistem tenaga surya itu bukannya tanpa kekurangan. Masih ada kekurangan yang dimiliki oleh sistem tersebut, yaitu, mesin yang hanya dapat menyala jika ada matahari. Hal itu berarti mesin hanya bisa mengalir pada siang hari saja. Selain itu, apabila mesin pompa mengalami gangguan atau kerusakan, servis harus dilakukan di luar kota, sehingga memakan biaya yang besar.
Kepala Dusun Banyumeneng I Sumardi mengatakan, persoalan air bersih masih menjadi persoalan tersendiri yang belum bisa sepenuhnya terselesaikan. Dicontohkan, ada truk tangki yang ikut mengambil air bersih dari sumber air tempat itu saat musim kemarau tiba.
“Saat kemarau, debit air ikut menurun. Jika ada truk tangki yang ikut ambil di sini, nanti warga bisa tidak kebagian air. Padahal, sumber mata air ini kan sebenarnya untuk warga,” kata Sumardi.
Ada truk tangki ikut ambil air sehingga warga tidak kebagian air
Aris mengungkapkan, sistem penyediaan air bersih pun akan terus dikembangkan. Tujuannya adalah memastikan kebutuhan warga terhadap air bersih dengan harga yang terjangkau. Nantinya, sistem pengelolaan air tenaga surya itu akan diintegrasikan dengan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dari pemerintah, yang saat ini tengah dibangun.
“Dari Pamsimas nanti akan menambah kapasitas tampungan air di tiap dusun. Kira-kira nanti tampungan air utama itu bisa mencapa 8.000-10.000 liter. Dengan begitu, masyarakat akan merasa terjamin tentang kebutuhan air bersihnya,” ungkap Aris.
Dana desa
Aris juga menyambut positif program dana desa yang diberikan pemerintah. Dengan adanya suntikan dana yang cukup besar itu, ia meyakini desa mampu mengembangkan serta memajukan daerahnya.
“Adanya dana desa ini jelas inisiatif yang baik dari pemerintah. Desa bisa membangun infrastruktur untuk membuat daerahnya tidak lagi tertinggal,” kata Aris.
Di Giriharjo, implementasi dana desa itu masih difokuskan untuk membangun infrastruktur, khususnya jalan antar dusun. Hal itu bertujuan untuk mengoptimalkan akses masyarakat untuk bermobilitas.
“Kami juga sedang ingin mendorong wisata desa. Ini harus didukung dengan aksesibilitas yang baik berupa jalan antardusun. Saat ini, masih banyak jalanan yang rusak, kami akan membangun itu dulu,” kata Aris.
Berdasar pantauan, jalan utama desa memang sudah berupa aspal yang halus. Namun, ketika mulai memasuki padukuhan, terutama di Dusun Banyumeneng I, Dusun Banyumeneng II, dan Dusun Banyumeneng III, jalanan terjal. Kebanyakan masih berupa batuan-batuan tidak rata yang membentuk jalan setapak.
Aspirasi desa
Aris tidak mengeluhkan pencairan dana desa. Ia menilai pencairannya lancar. Hal yang dikeluhkannya justru tentang pelaporan dana desa. Ia merasa, terlalu banyak laporan yang harus dibuat.
“Pelaporannya ini cukup banyak dan harus dikerjakan setiap bulan. Sementara, tenaga terampil kami terbatas dan jumlah program yang kami kerjakan cukup banyak,” kata Aris.
Persoalan lain mengenai program Padat Karya Tunai, yang dialokasikan dari dana desa. Tujuan pemerintah, menurut Aris, sebetulnya baik, yaitu untuk membuat masyarakat desa memiliki tambahan penghasilan sehingga bisa menggeliatkan perekonomian desa. Akan tetapi, dalam praktik, hal itu malah memperlambat pembangunan infrastruktur desa.
Model padat karya tunai membatasi pengerahan tenaga kerja bakti
Model padat karya tunai itu mengharuskan adanya alokasi uang dengan jumlah tertentu untuk pengerahan tenaga kerja. Sehingga, desa tidak bisa mengerahkan tenaga kerja sebanyak sebelumnya, yaitu dengan model kerja bakti..
“Semisal, sebelumnya bisa mengerahkan 50 orang untuk membangun jalan sepanjang 200 meter. Saat ini, hanya bisa mengerahkan 20 orang, karena ada keharusan untuk membayar tenaga yang bekerja itu,” ujar Aris.
Pekerjanya pun tidak bisa luwes berganti-ganti. Jika sudah terdaftar di satu proyek, dia harus mengerjakan proyek itu sampai selesai. Padahal, masyarakat desa, tidak bisa hadir setiap hari. Implikasinya, tenaga yang bisa dikerahkan menjadi berkurang dan memperlambat pengerjaan.