Menggelar Pesta Pernikahan Kampung Padat, Mengapa Tidak?
Di tengah padatnya ruang kota, selalu ada cara untuk berbahagia, seperti pasangan Jepang, Yuri Onuki (28) dan Genta Sawai (29). Mereka merayakan pernikahan di area padat penduduk, di antara gang sempit, di sekitar area mandi cuci kakus.
Tak pernah terbayang, momen penting dalam hidup mereka dirayakan di Cikini Kramat, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta, Minggu (9/16/2018) pagi.
Is it hurt? Sakit? Pertanyaan itu diulang-ulang Virika (40), juru rias, kepada Yuri saat dirias ala Betawi sebelum pesta. Virika beberapa kali memastikan hiasan rambut yang tertanam pada konde. Yuri terlihat semingrah, mengikuti riasan Virika. Pagi itu benar-benar jadi pagi istimewa bagi Yuri dan Genta.
Ikatan mereka dengan kampung itu pernah terbangun selama tiga tahun (2013-2016). Saat itu Genta tinggal di sana ketika melakukan penelitian program penataan kampung bertajuk ”Megacities and Global Environment Project”.
Selama di sana, warga kerap bertanya kepadanya kapan bakal menikah. Genta hanya menjawab, ”Tahun depan.” Ketika itu, Genta dan Yuri menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. ”Sekarang, saya harus melunasi janji saya,” kata Genta.
Saat mengutarakan keinginannya kepada Yuri, perempuan itu langsung setuju. Tidak hanya Yuri, orangtua Genta dan Yuri juga hadir di acara itu. ”Wonderful,” ujar Yuri menggambarkan perasaannya hari itu.
Genta merasa warga kampung itu telah menganggapnya sebagai saudara sendiri. Karena itu, tak ada keraguan baginya untuk merayakan pernikahan di sana. Dia merasa komunitas kampung memiliki kekuatan sosial besar yang bisa diberdayakan.
Tertarik kebersamaan
Waktu perayaan sudah tiba. Sejumlah laki-laki dewasa berseragam batik bersiap-siap. Salah seorang di antaranya, Ibrahim Muhammad Idris (30), menjadi semacam pengelola acara pada kegiatan itu.
Anak-anak muda ikut meramaikan acara pagi itu dengan membawa ”kembang kelapa”, umbul-umbul khas Betawi dari jalinan kertas krep warna-warni yang dililitkan pada batang-batang lidi. Bocah-bocah perempuan mulai menari, laki-laki dewasa menjadi seksi sibuk menyiapkan pesta, termasuk tradisi palang pintu khas Betawi. Sementara ibu-ibu lebih banyak merias pengantin dan menyiapkan makanan pesta. Sebagian besar warga di kampung itu terlibat dalam pesta.
Tak seberapa lama, Genta dan Yuri diarak keluar gang yang hanya cukup untuk dua orang yang berjalan sejajar. Di sebuah tanah kosong yang ditumbuhi beberapa pohon mangga, terlihat puluhan orang sudah berkumpul. Kursi-kursi plastik disediakan bagi keluarga pengantin di tengah kepungan sepeda motor yang parkir. Sejumlah bocah lelaki menabuh kemasan air mineral ukuran galon dan botol dengan irama tertentu. Suasana jadi semakin ramai.
Pengantin berdiri di atas jalan gang itu, menghadap orang-orang. ”Assalamualaikum. Good morning. Konnichiwa,” kata Masto (65) yang mewakili Forum Komunikasi Dini Masyarakat di Cikini Kramat.
Masto menjelaskan tata cara pelaksanaan acara pagi itu. Rombongan pengantin lalu beringsut lagi. Lewat gang yang bersenggolan dengan sisi pasar tradisional, rumah-rumah yang berimpitan, jalan raya di seberang Stasiun Cikini sebelum mengarah ke pertokoan Cikini Gold Center dan seterusnya.
Perayaan ini tidak lepas dari aktivitas periset dari Jepang dan Jepang sejak 2011 hingga kini di Cikini Kramat. Evawani Ellisa, pengajar arsitektur Universitas Indonesia, mengatakan kolaborasi di antara kedua belah pihak terus terjalin hingga saat ini.
Periset kedua negara sama-sama ingin menemukan solusi terkait tantangan yang dihadapi kota-kota raksasa (megacities) di dunia. Menurut Ellisa, kegiatan ini relevan jika dikaitkan dengan keberadaan Jakarta sebagai salah satu ”late comer megacity”.
MCK terintegrasi
Sejumlah proyek seperti pembangunan fasilitas mandi cuci kakus (MCK), tempat PAUD (pendidikan anak usia dini), dan rumah pintar bagi warga dikerjakan selama periode tersebut.
Kepala sekolah PAUD di kampung itu, Eni Usnarti, mengatakan, warga sangat terbantu dengan kehadiran sejumlah fasilitas itu. Keberadaan PAUD, lanjutnya, memberikan ruang bermain yang cukup bagi anak-anak di kampung itu.
Ellisa menilai, pembangunan MCK dan PAUD di kampung itu berdampak positif bagi warga. Karena itu, MCK setempat didesain terintegrasi di wilayah RT 011. Di atas bangunan MCK, terdapat fasilitas lain untuk pusat komunitas. Sebagai wilayah kampung dengan tingkat kepadatan tinggi, satu-satunya cara memaksimalkan penggunaan ruang hanya lewat keberadaan MCK itu.
Data dari publikasi Sensible High Density oleh Research Institute for Humanity and Nature (2015), di kawasan Cikini-Ampiun tinggal sekitar 3.200 orang dalam luasan area 4 hektar. Adapun tingkat kepadatannya mencapai 800 orang per hektar.
Kampung itu, kata Ellisa, bagaikan ”laboratorium hidup yang tak habis digali”. Mengutip Akiko Okabe, periset Universitas Tokyo, perlu ada pendampingan pada komunitas warga kampung di pusat kota, seperti di Cikini Kramat. Sebab, wilayah itu menjadi tumpuan bagi sebagian pendatang dari sejumlah daerah, untuk mengejar kesempatan hidup lebih baik di kota. (DIONISIA GUSDA PRIMADITA PUTRI)