Jalan Panjang Perjuangan Kampung Susun Bukit Duri…
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
Sebuah bangunan tua dengan lapisan cat yang sudah mengelupas di sana-sini masih berdiri tegak di Jalan Bukit Duri Tanjakan, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2018). Tulisan PT Setia Tjiliwung samar-samar terbaca di bagian tengah gedung tua itu. Kawasan itulah yang dibidik Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah untuk dibangun kampung susun bagi warga korban gusuran normalisasi Kali Ciliwung.
Saat ini, kawasan seluas kira-kira 1,6 hektare itu masih dipakai untuk gudang ekspedisi dan kontrakan. Rencananya, Pemprov DKI melalui Dinas Perumahan dan Gedung Pemda akan membeli lahan tersebut. Lahan akan digunakan untuk membangun kampung susun bagi warga Bukit Duri yang menjadi korban penggusuran pada tahun 2016. Pembangunan kampung itu masuk dalam program community action plan (CAP).
Dalam program CAP, penataan kampung paling tidak melibatkan empat komponen di antaranya partisipasi warga, pemerintah, pakar, dan fasilitator proses. Sebanyak 21 kampung di Jakarta akan ditata sesuai dengan karakter dan permasalahannya. Penataan kampung tersebut di antaranya meliputi proses konsolidasi lahan, penyiapan untuk tempat tinggal baru, dan penataan lingkungan.
Pendiri Komunitas Ciliwung Merdeka Sandyawan Sumardi mengatakan, sejak awal Ciliwung Merdeka mengusulkan lahan milik PT Setia Tjiliwung dibeli untuk membuat kampung susun bagi warga Bukit Duri. Namun, Pemprov DKI saat itu masih mempertimbangkan status kepemilikan tanah dan peraturan legal formal untuk membeli tanah tersebut. Gubernur DKI Jakarta juga sempat mengusulkan pembangunan hunian sementara (shelter) bagi warga Bukit Duri korban gusuran. Namun, karena khawatir anggaran tidak terserap, anggaran kemudian dicoret oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemda.
“Kami bingung, kok bisa (anggaran dicoret)? Padahal kampung lain seperti kampung akuarium sudah selesai (pembangunan shelternya). Bukit Duri itu kan secara legalitas malah menang atas gugatan class action dan perdata soal penggusuran,” kata Sandyawan, Kamis (13/9/2018).
Setelah Bukit Duri menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pengadilan mewajibkan BBWSCC memberikan ganti rugi Rp 18,6 miliar. Menurut Sandyawan, dalam pembahasan bersama dengan pemprov DKI, dana ganti rugi itu akan digunakan untuk membeli tanah milik PT Setia Tjiliwung. Namun, belakangan BBWSCC ternyata mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengatakan, pihaknya memilih kasasi dengan dalil menolak diminta ikut membayar ganti rugi kepada warga korban penggusuran Bukit Duri. Menurutnya, dengan situasi ekonomi seperti saat ini, BBWSCC lebih memprioritaskan penyelamatan uang negara. Selain itu, Bambang juga khawatir putusan PTUN itu akan menjadi preseden buruk bagi warga yang sudah direlokasi ke rusun lainnya. Ia khawatir setelah itu akan banjir gugatan dari korban gusuran lainnya.
“Kami berupaya untuk melakukan upaya hukum maksimal,” kata Bambang.
Namun, pihak sanggar Ciliwung Merdeka selaku pendamping warga, menyangsikan kasasi tersebut. Pasalnya, kasasi bisa diajukan 20 hari setelah putusan dari Pengadilan Tinggi. Sementara saat BBWSCC mengeluarkan pernyataan soal kasasi, waktunya sudah melebihi 20 hari semenjak masa putusan. Sandyawan semakin sangsi karena hingga saat ini belum menerima pemberitahuan soal kasasi tersebut.
Kendala lahan
Kepala Suku Dinas Perumahan dan Gedung Pemda Jakarta Selatan Yaya Mulyarso mengungkapkan, pengadaan tanah untuk kampung susun terus diupayakan. Saat ini, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda sedang mengecek legalitas dan status kepemilikan lahan milik PT Setia Tjiliwung. Sebelum membeli tanah, pemerintah harus memastikan dokumen lengkap dan status hukumnya jelas. Selain itu, juga muncul opsi pinjam pakai lahan milik Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) yang sudah lama mangkrak. Opsi ini masih terus dibahas bersama dengan warga dan pemangku kepentingan.
“Ada dua opsi itu yang sedang digodok, antara pinjam pakai lahan milik Dirjen Pajak atau membeli tanah milik PT Setia Tjiliwung. Semua opsi sedang diupayakan,” kata Yaya.
Sandyawan mengatakan, program kampung susun tetap harus terealisasi meskipun sekarang masih terbentur kendala lahan. Kampung susun diharapkan menjadi proyek percontohan dan solusi terbaik warga korban penggusuran. Setelah digusur untuk pembangunan tanggul dan jalan inspeksi, hanya 30 persen warga yang pindah ke rusunawa yang disediakan pemerintah. Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di wilayah itu, terutama yang memiliki sertifikat kepemilikan penuh menolak relokasi ke rusunawa.
“Problem utama relokasi adalah hanya memindahkan rumah saja, padahal warga punya pekerjaan yang rata-rata di sektor informal. Di kampung susun yang akan dibangun nanti warga masih bisa bekerja. Apalagi, lokasinya juga tidak terlalu jauh dari rumah mereka yang lama,” kata Sandyawan.
Sandyawan menegaskan, sejak awal warga Bukit Duri tidak menolak program pemerintah untuk normalisasi Kali Ciliwung. Hanya saja, warga Bukit Duri menginginkan lokasi hunian yang tidak terlalu jauh dari lokasinya. Selain itu, warga Bukit Duri juga memiliki surat-surat tanah seperti eigendom verponding, girik, akta jual beli, bahkan 14 sertifikat hak milik (SHM). Warga juga membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun.
“Warga meminta hak ganti rugi atas asetnya yang sah karena mereka punya surat-surat yang resmi. Tanah harus diganti dengan tanah, rumah harus diganti dengan rumah,” kata Sandyawan.