Sekadar Nostalgia Hip-metal
Band Limp Bizkit pernah berjaya di ujung dekade 1990-an. Di atas panggung, mereka juga pernah dilempari sampah oleh penonton. Mereka muncul lagi dan main kembali berbekal nostalgia di Soundrenaline 2018 di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (9/9/2018).
Momen pahit pada 26 Juli 2003 itu dicatat harian Chicago Tribune. Ketika itu, Metallica mengajak Limp Bizkit tur bertajuk Summer Sanitarium Tour. Ketika singgah di arena Hawthorne Race Course, Chicago, Amerika Serikat, sekelompok penonton datang membawa spanduk yang mencela Fred Durst, vokalis Limp Bizkit.
Setiap kali nama Limp Bizkit terdengar, cemoohan penonton membahana. Ketika benar-benar tampil, kericuhan itu terjadi. Cemoohan terus terdengar dan benda-benda —koin, botol minuman, sampah lainnya— beterbangan ke panggung, beberapa di antaranya mengenai Fred. ”Ayo, teruskan saja,” begitu respons dia pada mulanya.
Lemparan-lemparan itu tak mereda. Fred kesal juga. ia berujar, ”Kalian payah (menyebut ’payah’ dengan bahasa kasar), melempar saja tidak becus. Pantas tim bisbol kalian kalah terus,” ujarnya.
Karena situasi makin tak terkendali, Limp Bizkit turun panggung. Mereka cuma membawakan enam lagu. Hal itu berujung tuntutan dari penyelenggara acara karena dianggap tidak memenuhi kewajiban.
Tiga bulan setelah kejadian itu, Limp Bizkit mengeluarkan album penuh ketiga berjudul Results May Vary. Albumnya laris, walau masih kalah laku dibandingkan album sebelumnya, Significant Others (1999), album paling tersohor yang pernah mereka bikin. Kritikus berkata lain. Situs Allmusic menyebut album itu ”tak bermelodi, miskin hooks, dan tanpa tenaga.”
Pada 2003 itu, angin tak lagi berpihak pada gerombolan nu-metal, subgenre metal yang menyisipkan unsur hip-hop —bisa berupa ketukan drum, pola bas, peracikan sampling oleh disc jockey, dan gaya rap pada vokal. Sebutan lainnya bisa hip-metal, rap-metal, atau rap-rock. Seperti itulah karakter musik Limp Bizkit, yang terbentuk di Jacksonville, Florida, pada 1994.
Demam baru
Aliran nu-metal jadi wabah baru seiring surutnya gelombang grunge yang melahirkan embel-embel ”alternatif” pada bentuk rock dan metal yang ”liyan”. Band Korn dianggap salah satu pionir. Geraman ”Are you ready” pada intro lagu ”Blind” (1994) dari Korn ibarat sangkakala dimulainya demam baru itu.
Paduan antara metal dan rap sebelumnya pernah dilakukan band thrash metal Anthrax dalam lagu ”I’m The Man” di 1987. Racikan itu mereka lanjutkan pada ”Bring the Noise” (1991) yang menggandeng grup rap Public Enemy.
Popularitasnya melejit cepat. Jenis musik ini, dengan penampilnya yang berdandan janggal, menguasai tangga lagu. Festival-festival besar selalu memanggungkan band bercorak seperti ini. Majalah musik Decibel pernah menulis, setiap label rekaman pada waktu itu mendambakan punya, setidaknya, satu band nu-metal dalam katalog mereka.
Band yang sebelumnya memainkan metal ”konservatif” mulai melebarkan horizon mereka. Salah satunya adalah Machine Head yang menyisipkan ketukan disko dan gaya rap di album The Burning Red (1999).
Slayer, band thrash metal paling sangar sekalipun, dianggap mengadopsi gaya bermain nu-metal pada album Diabolus in Musica (1999). Tommy Lee, si Bengal gila pesta dari band glam rock Motley Crue, ikut-ikutan bikin proyek nu-metal bernama Methods of Mayhem.
Pada tahun yang sama, Limp Bizkit mengeluarkan album Significant Other. Setidaknya ada empat hit melejit dari album itu, yaitu ”Break Stuff”, ”Nookie”, ”Re-Arranged”, dan ”N 2 Gether Now”. Lagu-lagu itu memuncaki tangga Billboard 200.
Lagu-lagu yang dinyanyikan Fred umumnya berkeluh kesah tentang dirinya sendiri. Ia bercerita tentang kecanggungan bersosial, kerumitan tinggal di kawasan suburban, amarah sebagai perlawanan dari perundungan, juga sumpah serapah pada asmara yang gagal.
Lirik yang agresif itu punya kekuatan berlipat karena ketukan konstan musiknya. Kondisi begitu juga bisa jadi ancaman jika dibawakan di kerumunan massa. Festival musik Woodstock pada 1999 adalah buktinya. Sejumlah penonton merusak dinding papan di arena ketika lagu ”Break Stuff” dimainkan. Ada juga laporan kekerasan seksual selama Limp Bizkit tampil.
Kontroversi itu rupanya memacu ketenaran Limp Bizkit. Mereka terus menjadi penampil utama di banyak festival di Amerika Serikat dalam rangkaian Family Values Tour bareng Korn, Primus, dan Filter, yang musiknya dianggap serumpun. Saking terkenalnya, Fred Durst bahkan bisa berduet dengan penyanyi pop Christina Aguilera.
Tren berganti
Wabah ini, yang juga sampai di Indonesia, lama-lama terasa menjemukan. Kancah metal mencari bentuk baru lagi. Pada pertengahan dekade 2000-an, Killswitch Engage yang memainkan gaya metalcore mulai mencuri perhatian. Hip-metal mulai turun pamor. Tren pun perlahan berganti.
Perubahan itu membuat Limp Bizkit memutuskan hiatus pada 2006 dan bereuni lagi tiga tahun kemudian. Hasil reuni itu berupa album kelima mereka Gold Cobra (2011). Karya termutakhir mereka adalah single ”Ready to Go” yang menampilkan rapper Lil Wayne. Menurut rencana, lagu itu bakal masuk di album baru Stampede of the Disco Elephants, yang entah kapan keluarnya.
Namun, lagu-lagu baru itu tak masuk daftar susunan lagu di sebagian besar konser mereka dalam dua tahun terakhir ini. Mereka cenderung nyaman dengan katalog lamanya.
”Tak seorang pun mengharapkan lagu baru Limp Bizkit. Kami seperti terserap dalam nuansa nostalgia ketika orang-orang mendambakan mendengar sebelas lagu yang mereka kenali. Aku bisa melihat reaksi orang yang langsung turun ketika mendengar lagu selain ’My Generation’, ’My Way’, ’Break Stuff’, ’Nookie’, ’Re-arranged’, ’N 2 Gether Now’,” kata gitaris Wes Borland dalam wawancara di Loudwire pada 7 Desember 2017.
Formula itu yang mereka bawa ketika tampil di Soundrenaline akhir pekan lalu. Sebelum muncul di panggung, pengeras suara memutar lagu lama ”Purple Rain” milik Prince dalam cahaya, yang tentu saja, ungu. Nuansa nostalgia begitu membayangi.
Lagu era 1980-an itu tak berlangsung lama. Mereka segera menggebrak panggung dengan nomor keras ”Hot Dog” dari album Chocolate Starfish and the Hot Dog Flavored Water (2000). Lirik lagunya terbilang kasar. Pendengarnya seperti dipisuh-pisuhi atau dimaki-maki,tapi mereka sepertinya tak terlalu peduli. Acungan jari tengah dari Fred kepada penonton dibalas dengan tanda yang sama, tetapi sambil tertawa-tawa.
”Aku tahu itu adalah bentuk cinta kalian kepada kami. I love you, too,” kata Fred yang kini mengganti topi pet berwarna merah ciri khasnya dengan topi ala pemancing. Ia pakai kaca mata hitam, sarung tangan merah, jersey klub liga NFL Oakland Raiders, dan celana gombrong bermotif bunga.
Sementara Borland di sisi kirinya masih berpenampilan nyentrik: separuh kepalanya dicat hitam, sisanya putih. Malam itu, Limp Bizkit diisi oleh pemain drum orisinal John Otto, dan DJ Lethal. Sementara pemain basnya bukan lagi Sam Rivers, melainkan perempuan lincah bernama Tsuzumi Okai.
Lagu-lagu yang disebutkan Borland tadi ada pada daftar lagu mereka malam itu. Selain itu, mereka, tanpa Fred, merangkai potongan intro lagu dari band-band thrash metal beken, seperti Megadeth, Metallica, Slayer, dan Pantera. Di tiap jeda lagu, DJ Lethal memainkan beberapa sampling, termasuk ”Jump Around” dari House of Pain, grup terdahulu Lethal.
Penampilan Limp Bizkit sebenarnya tak terlalu istimewa. Mereka mengalami kendala suara sejak awal. Visual di layar besar pun tak atraktif: hanya foto mobil station wagon hitam-putih. Sajian visual band Indonesia, seperti Navicula, Burgerkill, dan Seringai jauh lebih menarik.
Satu hal yang pantas disyukuri adalah: insiden di Chicago tahun 2003 dan Woodstock 1999 itu tak terjadi di Bali walau Fred masih sama tengilnya.