TAKENGON, KOMPAS — Pawai budaya Gayo dan Alas yang berlangsung di Takengon, Kabupaten Aceh, Provinsi Aceh, Minggu (16/9/2018), meriah dan membuat warga terhibur. Pawai itu mengangkat kekayaan budaya dan keindahan alam dataran tinggi Gayo dan Alas.
Pawai budaya digelar sebagai bagian dari kegiatan Gayo Alas Mountain International Festival 2018 mulai dari 14 September hingga 24 November 2018. Adapun festival digelar di empat kabupaten, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara.
Dalam pawai, peserta pawai budaya bergerak dari halaman Kantor Bupati Aceh Tengah menuju Lapangan Musara Alun. Warga memadati jalan protokol tempat pawai berlangsung. Seolah tidak mau melewati setiap keunikan yang ditampilkan, warga mengabadikan setiap momen dengan kamera ponsel.
Peserta dari Aceh Tengah dan Bener Meriah yang dominan dari suku Gayo mengenakan baju adat kain kerawang dengan ukiran upuh ulen-ulen. Terdapat lima warna dasar kuning, merah, putih, hijau, dan hitam dalam pakaian sebagai ciri khas kain kerawang.
Peserta dari Aceh Tenggara dan Gayo Lues yang dominan suku Alas mengenakan pakaian adat kerawang dengan motif bunga embun, pucuk rebung, dan semut beriring.
Selain mengenakan pakaian adat, peserta juga mengenakan busana kreasi dari daun kopi dan barang bekas. Ada juga peserta yang mengusung tanaman kopi, biji kopi, dan mesin giling kopi. Tema kopi sangat dominan karena Gayo dan Alas merupakan penghasil kopi arabika.
Seorang pengunjung dari Banda Aceh, Kamaruddin, mengatakan, budaya Gayo dan Alas sangat unik tetapi kuat nilai. Dia sangat terkesima dengan ragam keunikan pakaian adat Gayo dan Alas. Setiap ukiran pada kain tradisional memiliki makna kuat berkaitan dengan pandangan hidup warganya.
”Kegiatan kebudayaan perlu digelar rutin setiap tahun agar generasi muda tidak melupakan akar budayanya,” kata Kamaruddin.
Warga Aceh Tengah, Lola, juga merasa terhibur dengan pawai kebudayaan. Kata Lola, Gayo memiliki kekayaan budaya, kesenian, tarian, dan alat musik tradisional. ”Ini warisan yang harus kita jaga,” kata Lola.
Para peserta juga memainkan kesenian didong, seni tutur melantunkan syair diringi musik dari tepukan tangan dan bantal. Didong biasa dimainkan untuk memeriahkan pesta. Didong merupakan kesenian tua karena alat musiknya masih mengandalkan tangan.
Dalam barisan peserta pawai, terlihat juga ada yang membawa canang, gong kecil yang dipukul dengan kayu. Canang biasa dipakai pada acara pesta perkawinan.
Budayawan Gayo, Jauhari Samalanga, mengatakan, Gayo dan Alas memiliki akar kebudayaan yang sama karena keduanya serumpun. Gayo dan Alas memiliki kebudayaan yang kaya sebagai cermin warganya memiliki peradaban yang tinggi.
Kepala Dinas Wisata, Pemuda, dan Olahraga Aceh Tengah mengatakan, Gayo Alas Mountain International Festival digelar untuk promosi wisata daerah itu kepada dunia.