Pegiat Gambar Sketsa Terus Berkembang di Era Digital
Di era perkembangan teknologi digital, para pagiat gambar sketsa mendapat ruang untuk mengembangkan bakat mereka. Mereka dapat mengekspresikan dirinya dan membuat kenangan atas perjalanan hidupnya.
Sketsa dipahami sebagai karya seni rupa bermedia pensil, tinta, pena, dan sejenisnya pada kertas. Peralatan yang dibawa perupa cukup praktis untuk dibawa karena pembuatannya dilakukan di luar ruangan. Mereka menonjolkan garis sebagai gambar utama yang dapat dinikmati oleh orang yang melihat karyanya.
Saat dihubungi di Jakarta, Minggu (16/9/2018), kurator seni rupa, dosen Institut Kesenian Jakarta, dan komikus Beng Rahadian mengatakan, para pembuat sketsa urban pada umumnya membuat gambar sketsa untuk dirinya sendiri seperti untuk bersenang-senang dan belajar.
”Karena lokasi menggambarnya di ruang pulik, banyak obyek sketsa yang digambar berupa penanda sebuah kota,” ujar Beng. Hal tersebut menjadi sebuah keunikan baru karena sebuah kelompok di sebuah kota memperlihatkan potensi yang ada di kotanya. Kelompok tersebut tumbuh di beberapa kota di Indonesia, salah satunya Jakarta.
Di era digital, media sosial menjadi ruang maya yang mempertemukan para pegiat gambar sketsa. Mereka saling berbagai karya dan wacana. Pertemuan mereka dapat dinikmati juga oleh warganet lain yang bukan seorang pembuat sketsa. Bagi warganet, karya pembuat sketsa menjadi hiburan di tengah hiruk-pikuk permasalahan di Indonesia.
Wacana pertarungan antara sketsa dan teknologi hanya ada pada alat gambar yang digunakan. Para pembuat sketsa dapat menggunakan gawai untuk menggambar. ”Namun, esensi dari menggambar sketsa terletak pada spontanitas, on the spot, dan tak perlu menghapus gambar yang salah,” kata Beng.
Iyusman Utomo (19), warga Tangerang Selatan, menceritakan kebiasaannya dalam membuat sketsa. Ia menjadikan hobi menggambar sketsa sebagai cara untuk bersenang-senang. Ia mengamati obyek yang ia temui dan menuangkan gambar obyek tersebut pada secarik kertas dengan menggunakan tinta India, pensil, dan pena.
Ia mengakui, hobi menggambar sketsa muncul karena pengaruh media sosial meskipun hobi menggambar telah muncul sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Bagi Iyusman, membuat sketsa sebagai sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. ”Saya dapat mendokumentasikan apa saja yang saya temui ke dalam secarik kertas,” kata laki-laki yang bekerja sebagai ilustrator lepas tersebut.
Sementara itu, Wahyu Suherma (27), warga Tangerang, mengatakan, membuat sketsa dapat menghilangkan rasa jenuh. Ia dapat mengekspresikan dirinya melalui sketsa yang dibuatnya. ”Saya dapat berbagi kebahagiaan melalui karya yang saya buat,” kata mahasiswa jurusan psikologi tersebut.
Beragam media digunakan Wahyu dalam membuat gambar sketsa. Ia tidak membatasi dirinya pada kertas dan pena. Ia bereksperimen dengan menggunakan karton dupleks yang digambar menggunakan besi mur dan menaburkan karbon di atasnya.
Asmo Adji (23), warga Tanah Abang, mengatakan, setiap hari dirinya selalu membawa buku gambar untuk membuat sketsa. Hobi tersebut muncul setelah mengalami rasa jenuh bekerja di kantor.
Ia pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan menuangkan rasa jenuh pada buku gambar. Asmo menekuni hobi tersebut setiap hari dan menjadi sumber penghasilannya.
Para pegiat gambar sketsa mengatakan, media sosial sangat berpengaruh dalam perjalanan proses kreatif mereka. Mereka dapat saling berbagai karya dan cerita dengan orang yang memiliki hobi menggambar. Di sisi lain, mereka dapat menampilkan karya kepada publik dan dapat diapresiasi.
Sejarah sketsa Indonesia
Pada umumnya, sketsa dibuat untuk memulai sebuah lukisan. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta dan pelukis Henk Ngantung membuat sketsa sebagai sebuah karya seni rupa yang telah usai.
Kurator seni rupa Bambang Bujono dalam Pameran Sketsa bertajuk (Re) Kreasi Garis di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 5-16 September 2018, mencatat, para pemikir seni rupa Indonesia sudah menanamkan gagasan tentang sketsa sebagai sebuah karya seni rupa yang telah selesai. Sekitar 1950-an, pelukis dan pemikir seni rupa Kusnadi menulis kritik yang mengibaratkan sketsa seperti gesekan biola tunggal dan lukisan seperti sebuah orkestra.
Kusnadi menggagas, sketsa dapat menjadi bagian dari sebuah rencana, tetapi dapat juga sebagai karya yang telah selesai. Pelukis Ipe Ma’aroef merupakan salah satu seniman yang membuat sketsa sebagai sebuah karya yang selesai.
Pendapat Kusnadi mendapat dukungan luas dan dunia seni rupa di Indonesia tidak lagi mempersoalkan sketsa sebagai sebuah karya jadi atau sebagai bagian dari perencanaan. Bahkan, karya-karya pelukis sketsa dapat menjadi catatan sejarah Indonesia. Henk Ngantung, misalnya, membuat sketsa hitam putih pada periode awal Republik Indonesia.
Sebagai contoh, Henk Ngantung mencatat peristiwa Perundingan Linggarjati, Renville, dan Kaliurang. Ia tidak hanya menggambar sketsa di ruang perundingan, tetapi juga membuat sketsa delegasi yang berangkat ke Kaliurang naik kereta api, sketsa dapur di kereta api, suasana di luar perundingan, dan lain-lain.
Henk Ngantung adalah salah satu pelukis yang dibesarkan oleh Kepala Seksi Seni Rupa Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Sidhoso (KBS) Jepang Ono Saseo. Ono mengajak para perupa Indonesia untuk keluar dari studio dan menggambar langsung obyek serta peristiwa di luar ruangan. Adapun tugas Ono di KBS ialah mendokumentasikan kegiatan militer Jepang dan suasana negeri tempat militer Jepang berada.
Dari kegiatan yang diajarkan Ono muncul sejumlah perupa yang mencintai gambar langsung di depan obyek. Dari latihan ini muncul perupa-perupa yang andal membuat sketsa, seperti Sudjojono, Affandi, Sudjana Kerton, Henk Ngantung, dan Soerono.