Membaca Ainun di Opera
Menyimak kisah hidup dan asmara Hasri Ainun Habibie dalam buku atau film, menjadi pengalaman klasik. Lima Dimensi Production menyajikan sensasi baru dengan mengangkat kisah mendiang istri presiden ke-3 RI itu dalam Opera Ainun. Opera ini pun menjadi referensi baru bagi anak negeri dalam berkreasi.
Opera Ainun digelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki Sabtu- Minggu (15-16/9/2018). Ceritanya diangkat dari buku karya Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan BJ Habibie berjudul Habibie & Ainun (2010).
Opera ini dibagi dalam tiga babak. Babak pertama bercerita awal karier Ainun hingga menikah dengan Habibie. Babak kedua ketika dia ikut Habibie hidup di Jerman hingga Habibie diminta pulang oleh Pemerintah RI. Babak ketiga tentang kehidupan Ainun ketika pulang ke Jakarta hingga wafat. Ada empat tempat yang dijadikan latar dalam cerita opera ini, yakni Bandung, Jakarta, Oberforstbach, dan Hamburg.
Cerita yang dirangkum dalam durasi 145 menit ini bukan saja tentang asmara. Di sana juga terkandung cita-cita dan nasionalisme. Misalnya, betapa kuat Ainun menutupi keinginannya untuk meneruskan sebagai dokter, demi mendukung studi dan cita- cita suaminya yang kelak dapat membuat pesawat terbang.
Produser Lima Dimensi Sapti Wahyudi mengatakan, Opera Ainun dapat menjadi referensi baru bagi pemain opera Tanah Air yang selama ini lebih banyak mengadopsi naskah-naskah dari luar negeri.
Dari sisi skrip, opera ini cukup memikat karena pilihan diksi yang pas dan rangkaian kalimat puitik. Banyak juga kalimat-kalimat bertenaga yang layak menjadi kutipan penyemangat.
Penulis skenario Titien Wattimena melakukan riset, antara lain berbincang langsung dengan Habibie, membaca bukunya, dan mewawancarai teman-teman Ainun yang masih hidup. Dari sana, penulis skenario beberapa film seperti Mengejar Matahari (2004) dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010) ini menyelami perasaan Ainun sekaligus mencoba menemukan gambaran tantangan yang dihadapinya ketika hidup bersama Habibie. ”Proses paling sunyi terjadi ketika penulisan naskah. Tanpa musik dan lainnya,” kata Titien ketika mencoba menafsir temuannya itu ke dalam naskah opera.
Hal yang mirip dilakukan oleh komposer Purwa Tjaraka yang membuat komposisi dan mengaransemen lebih dari 50 lagu untuk Opera Ainun. Musiknya dimainkan secara langsung (live), tatkala opera digelar.
Untuk mendapatkan materi lagu dan menggali emosi, Purwa kerap kali berbincang panjang dengan Habibie. Bahkan, pernah suatu ketika mereka berbincang hingga 12 jam. Purwa mencatat detail-detail dengan teliti untuk mendapatkan emosi yang pas bagi lagunya. Misalnya pada babak pertama ketika Habibie menyatakan cinta pada Ainun, musiknya dia kemas agak galau karena saat itu pikiran dan perasaan Habibie juga tak menentu.
Dua tahun
Penggarapan opera ini membutuhkan waktu dua tahun. ”Kami sendiri butuh waktu enam bulan sebelum mengiyakan tantangan Pak Habibie untuk membuat Opera Ainun,” ujar Purwa.
Tahap awal, Purwa membuat musik yang masih embrio. Lalu Titien bergabung dan membuat naskah yang dapat dimainkan menjadi lagu selama 10 menit. Itu lalu dipresentasikan kepada Habibie.
Setelah itu terus berkembang hingga satu jam dan dimainkan dengan iringan musik dan tarian. Naskah terus berkembang bahkan hingga lebih dari dua jam. ”Banyak detail yang akhirnya kami potong agar tidak membosankan,” kata Purwa yang juga menjelaskan bahwa durasi 145 menit itu mengacu pada keinginan Habibie yang menyarankan agar opera berdurasi 150 menit.
Opera Ainun mudah ditangkap ceritanya karena menggunakan alur linear. Kekuatan syair dan musik menjadi tonggak utama. Itu sudah dilunasi Titien dan Purwa yang menciptakan karya asli.
Keanggunan itu ditopang oleh koreografi yang tak kalah menawan. Ari Tulang selaku sutradara sekaligus koreografer. Para pemain opera ini pada dasarnya memiliki suara bagus, tetapi tidak memiliki cukup kemampuan akting. Ari dibantu Rusmedie Agus melatih mereka menyelami rasa dalam gerak, berakting seolah tak berakting. ”Sebenarnya mereka bukan tak bisa akting, tetapi tak biasa,” papar Ari.
Kerja keras Ari berbuah manis. Gerakan-gerakan para pemain di atas panggung tampak alami dalam pengertian tidak ada yang canggung ketika bernyanyi sambil akting.
Sorotan utama tentu saja pada Ainun yang diperankan Andrea Miranda, seorang soprano lulusan Berklee College of Music, Amerika Serikat. Andrea menyelami karakter Ainun dengan banyak membaca tentang sosok yang dia perankan. Selain itu, ikut terlibat dalam obrolan bersama Habibie untuk mengetahui detail-detail Ainun, setidaknya dari mata orang terdekatnya.
Farman Purnama yang memerankan Habibie juga menjadi pusat perhatian. Baginya, lebih mudah menyelami karakter Habibie dibandingkan beban Andrea dalam memerankan Ainun. Sebab, Habibie masih hidup. Dia dapat dengan lebih leluasa mempelajari ciri khas dan gerak-gerik Habibie dengan mengamati atau berbincang langsung dengannya.
Akting Farman cukup meyakinkan. Barang kali yang agak ganjil adalah postur tubuhnya yang terlampau subur. Ini kurang mewakili sosok Habibie yang cenderung mugil. Ukuran tubuh ini cukup mengganggu ketika kita mencoba menarik imajinasi ke dalam adegan Habibie yang sebenarnya. Akan tetapi, sekali lagi, akting Farman yang penyanyi tenor ini cukup meyakinkan.
Yang juga memesona adalah peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya. Pergantian properti berjalan mulus dan rapi. Ini juga karena Purwa tidak membiarkan penonton menyantap kekosongan. Tatkala panggung gelap menuju adegan berikutnya, Purwa mengisinya dengan musik sebagai jembatan. Dengan demikian, emosi penonton terjaga. Ibarat menyusuri jalanan dengan kendaraan, penonton tidak mendapati polisi tidur. Mulus.
Itu masih ditambah dengan penataan cahaya dan multimedia yang menyatu dengan properti. Multimedia bukan sekadar mempercantik panggung, tetapi dirancang sedemikian rupa sehingga membantu membangun atmosfer. Ketika menggambarkan salju turun, misalnya, dipasang jaring hitam sehingga gambar salju turun seolah benar-benar jatuh di panggung.
Opera memang jarang dimainkan di Tanah Air, apalagi opera hasil karya anak bangsa. Opera Ainun menghadapi tantangan itu, bermain di tengah masyarakat yang belum mencintai Opera. Bagi pembaca buku dan penonton film Ainun, opera ini memberi pengalaman berbeda.
Singkat kata, Opera Ainun layak menjadi referensi anak negeri dalam berkreasi.