NUSA DUA, KOMPAS — Hasil penelitian dari banyak negara ataupun pengalaman negara lain menunjukkan, tarif cukai produk tembakau yang tinggi berperan paling signifikan dalam mengendalikan konsumsi rokok. Namun, implementasinya harus memerlukan kemauan politik pengambil kebijakan, terutama Kementerian Keuangan. Inilah di Indonesia belum sepenuhnya terlihat.
Pada salah satu diskusi di Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (Apact) Ke-12 di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/9/2018), Koordinator Ekonomi Pengendalian Tembakau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Jeremias N Paul Jr menyatakan, meski terbukti efektif menekan prevalensi merokok, tarif cukai rokok yang tinggi masih belum mendapat perhatian serius. Industri rokok kerap memberikan informasi keliru kepada pemerintah untuk menghalangi kenaikan tarif cukai.
”Berpikirlah teknis, tetapi bertindak politis. Pahami perbedaan pola pikir dari para pemangku kepentingan, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, juga Kementerian Perindustrian. Pertanyaan apa untungnya bagi mereka masing-masing perlu dijawab,” tutur Jeremias.
Tarif cukai yang tinggi memberikan dampak positif terhadap penurunan konsumsi rokok, menekan biaya kesehatan akibat penyakit terkait dengan rokok, dan meningkatkan pendapatan pemerintah yang bisa dialokasikan untuk kesehatan.
Cukai rokok yang tinggi merupakan solusi yang menguntungkan bagi banyak pihak. Kesehatan masyarakat terlindungi dari bahaya rokok, masyarakat juga tercegah dari kesakitan dan kematian akibat penyakit terkait dengan rokok, dan pemerintah mendapat tambahan pendapatan yang bisa dialokasikan untuk bidang kesehatan.
Pengalaman di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Eropa, dan Korea Selatan, menunjukkan, seiring dengan kenaikan tarif cukai, prevalensi perokok pun menurun. Tarif cukai yang tinggi mendongkrak harga rokok naik sehingga berada pada level yang tidak terjangkau masyarakat miskin yang merupakan konsumen terbesar produk adiktif ini.
Rong Zheng, Direktur WHO Collaborating Center for Tobacco and Economics China, mengatakan, pengalaman di China tahun 2015 menunjukkan kenaikan cukai sebesar 4 persen telah menyebabkan kenaikan harga 10 persen. Ini jelas memengaruhi warga miskin dalam membuat keputusan membeli rokok.
Akan tetapi, informasi yang biasa diembuskan oleh industri rokok adalah kenaikan cukai rokok akan memicu naiknya rokok ilegal, jika cukai dinaikkan akan digugat ke meja hijau, tidak berpihak kepada warga miskin, pendapatan pemerintah akan turun, dan memberikan dampak buruk bagi sektor tenaga kerja.
Menurut anggota Dewan Pakar Komnas Pengendalian Tembakau, Prof Hasbullah Thabrany, tambahan dari kenaikan cukai rokok bisa dipakai untuk memberdayakan dan menyiapkan industri rokok skala kecil untuk beralih bidang usaha. Begitu juga dengan pekerja di industri rokok besar.
”Industri rokok kecil yang tutup bukan karena cukai naik, tetapi tergilas oleh industri rokok besar yang mengandalkan mesin,” kata Hasbullah.
Oleh karena itu, diperlukan kemauan politik pemerintah untuk lebih berpihak kepada masyarakat, bukan pada industri rokok. Selama ini, kebijakan pengendalian tembakau melalui penerapan cukai yang tinggi masih belum cukup untuk menekan konsumsi rokok.
Sementara itu, Penasihat Senior Bank Dunia Patricio Marquez menyampaikan, rokok merupakan tantangan pembangunan di setiap negara. Semakin tinggi konsumsinya, semakin tinggi biaya yang ditimbulkannya, baik yang berasal dari kesakitan maupun kematian akibat penyakit terkait dengan rokok, juga termasuk biaya sosial lainnya.
Patricio menekankan, sangat penting bagi pemerintah untuk menetapkan tarif cukai yang tinggi sehingga anak-anak, remaja, dan warga miskin tidak sanggup membeli rokok. Sebab, sekali mencoba dan ketagihan, maka akan sulit untuk berhenti.
Hasbullah menuturkan, industri rokok sering menjadikan isu tenaga kerja, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) rokok, dan rokok ilegal sebagai alasan untuk menolak kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Tidak ada satu pun yang secara empiris terbukti dan terkait. ”Tapi, ya, begitulah bahasa industri rokok,” ujarnya.
Adapun Suryo Nugroho, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Kementerian Keuangan, mengatakan, dalam merencanakan kenaikan cukai, pemerintah harus mempertimbangkan secara berimbang antara aspek penerimaan negara, tenaga kerja, dan juga industri rokok kecil.
Kenaikan cukai selama ini diklaim Nugroho telah berhasil menurunkan prevalensi perokok. Mengutip data AC Nielsen, Nugroho mencontohkan, prevalensi perokok laki-laki dewasa yang menghabiskan tiga atau lebih batang rokok sehari di Indonesia terus menurun seiring dengan kenaikan tarif cukai berkala yang diterapkan pemerintah. Prevalensi yang semula 75,1 persen tahun 2010 menjadi 71,7 persen di tahun 2013.
Padahal, Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi perokok penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas terus naik, 34,2 persen tahun 2007, naik menjadi 34,3 persen tahun 2010, dan naik lagi menjadi 36,3 persen tahun 2013.