BANDUNG, KOMPAS – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China memberikan peluang bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional untuk meningkatkan ekspor. Namun, tantangannya tidak mudah. Selain bersaing dengan negara lain, seperti Vietnam, India, dan Bangladesh, industri tekstil dalam negeri juga masih bergantung bahan baku impor.
“Industri tekstil nasional dapat menjadikan perang dagang AS dan China sebagai peluang. Sebab, pasokan produk TPT yang dibutuhkan AS sedang terganggu,” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam Sosialisasi Peta Jalan TPT dari Dialog Tekstil Nasional 2018, di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/9/2018).
Enggartiasto mengatakan, pada 2017, China menguasai 37,19 persen impor TPT ke AS. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lain. Sementara Indonesia berada di peringkat ke-5 dengan kontribusi 4,82 persen.
“Ini peluang industri dalam negeri untuk meningkatkan produksi dan ekspor. Jangan sampai peluang kebutuhan AS yang besar itu justru dipenuhi produk dari negara lain,” ujarnya.
Menurut Enggartiasto, diperlukan beberapa strategi untuk memaksimalkan peluang itu. Salah satunya melalui skema imbal dagang.
Selama ini industri TPT nasional masih bergantung impor kapas dari beberapa negara, termasuk AS. Selain itu, Indonesia juga mengimpor sejumlah barang dari AS, mulai dari jagung, kedelai, hingga pesawat. Hal ini menjadi celah agar AS membeli produk-produk Indonesia, termasuk tekstil dan garmen.
“Pendekatan untuk memanfaatkan celah itu terus dilakukan. Tidak hanya ke AS, melainkan juga negara lain yang mempunyai potensi pasar untuk produk-produk Indonesia,” ujarnya.
Peta jalan tekstil dan produk tekstil nasional dibutuhkan untuk membentuk iklim usaha yang sehat.
Enggartiasto juga meminta industri tekstil nasional meningkatkan kontribusi terhadap kebutuhan dalam negeri. Sebab, 70 persen pasar tekstil di Indonesia dikuasi impor.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, peta jalan TPT nasional dibutuhkan untuk membentuk iklim usaha yang sehat, mendukung akses pasar, dan meningkatkan sumber daya manusia.
“Peningkatan SDM sangat penting agar produk lebih berdaya saing. Untuk itu, ke depan para pekerja akan berlatar belakang pendidikan khusus tekstil,” ujarnya.
Terkait perang dagang AS dan China, Ade menyadari hal menjadi peluang bagi industri TPT nasional. Namun, peluang itu perlu dukungan kebijakan yang melindungi produk dalam negeri.
Perang dagang tersebut juga dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki ekspor ke AS. Sebab, dalam tujuh tahun terakhir, ekspor tekstil dan garmen Indonesia ke AS turun 2-3 persen per tahun.
Tujuh tahun lalu, ekspor tekstil dan garmen Indonesia ke AS senilai 4,8 miliar dollar AS. Namun, pada 2017 tinggal 3,9 miliar dollar AS (Kompas 26/3/2018).
“Harapannya tahun depan bisa naik lagi. Salah sau caranya dengan memanfaatkan pasokan TPT ke Amerika yang sedang terganggu akibat perang dagang dengan China,” ujarnya.