Penyandang Epilepsi di Indonesia Capai 2 Juta Orang
Oleh
Khaerudin
·2 menit baca
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS
Seminar awam bertajuk ”Operasi sebagai Alternatif Pengobatan pada Epilepsi” diselenggarakan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Epilepsi merupakan salah satu penyakit yang diderita banyak orang di Indonesia dengan angka prevalensi mencapai 0,5 persen hingga 0,9 persen. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah penyandang epilepsi dapat mencapai 1,2 juta hingga 2,16 juta orang.
Epilepsi merupakan penyakit otak tidak menular yang ditandai dengan kejang berulang pada tubuh. Kejang atau bangkitan epilepsi yang terus-menerus akan menimbulkan sejumlah konsekuensi, baik dari sisi neurobiologis, kognisi, psikologi, maupun sosial pada seseorang. Hal ini mengemuka dalam seminar mengenai pengobatan epilepsi di Jakarta, Sabtu (15/9/2018).
Epilepsi dapat ditangani dengan meminum obat anti-epilepsi (OAE). Pemberian OAE harus didasarkan pada rekomendasi dokter terkait dengan jumlah dan dosis yang harus dikonsumsi. OAE juga harus diminum secara rutin untuk mengurangi munculnya bangkitan epilepsi.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Guru Besar Bidang Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin memaparkan terapi bedah epilepsi dalam acara Simposium Epilepsi 101: Diagnosis dan Tata Laksana Epilepsi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Senin (3/9/2018).
Menurut dokter spesialis saraf Rumah Sakit Umum Bunda, Jakarta, Irawati Hawari, epilepsi dapat juga diobati melalui bedah saraf. Salah satu parameter untuk melakukan bedah saraf, meski pasien telah mengonsumsi dua atau tiga OAE, tidak mengurangi intensitas bangkitan epilepsi. Selain itu, bedah saraf juga hanya dapat dilakukan jika bagian otak yang menyebabkan kejang sudah terdeteksi secara spesifik.
”Harus dipastikan dulu apakah benar kejangnya disebabkan oleh epilepsi atau tidak. Sebelum bedah, kita harus melakukan Long Term Video-EEG Monitoring, pindai MRI, PET-scan, pengkajian kognitif, dan wawancara dengan psikiater,” kata Irawati. (SEKAR GANDHAWANGI)