Mencokau, Tradisi Memanen Ikan Lubuk Larangan di Kampar Riau
Kabar tentang kegiatan mencokau di Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, disampaikan oleh teman-teman dari Yayasan Pendidikan Konservasi (Yapeka) dan Indonesia Ecotourism Network (Indecon) pekan lalu. Tanpa banyak basa-basi, acara itu langsung dikunci dalam agenda kerja.
Selalu menarik melakukan kerja jurnalistik menyusuri desa-desa di sepanjang aliran Sungai Subayang. Aur Kuning, adalah salah satu desa disana. Langsung terbayang, pemandangan indah pepohonan hutan hijau asri yang berdiri tegak di tebing-tebing tinggi di sepanjang sungai yang memanjakan mata.
Mencokau adalah kegiatan menangkap atau memanen ikan dari lubuk larangan. Itu adalah tradisi masyarakat adat di Kabupaten Kampar, Riau, yang sudah berlangsung ratusan tahun. Seluruh desa di sepanjang Sungai Subayang (24 desa) memiliki lubuk larangan.
Lubuk larangan biasanya tidak jauh dari lokasi pemukiman warga. Para ninik mamak (pengetua adat) bersama pemuda memasang tanda lubuk larangan dengan membentangkan kabel baja di atas sungai. Ada dua kabel yang dipasang dengan jarak berkisar 200 – 300 meter.
Warga dilarang mengambil ikan di sepanjang bentang lubuk larangan. Apabila dilanggar, ada denda adat dan hukuman sosial. Seluruh warga desa sudah paham aturan itu. Nyaris tidak pernah ada pelanggaran.
Ikan-ikan di lubuk larangan dibiarkan hidup bebas selama setahun tanpa diganggu. Dan ketika puncak musim kemarau, para ninik mamak akan menentukan hari mencokau. Di hari itu, ikan di lubuk larangan boleh dipanen.
Sehari menjelang hari-H, pada Jumat (7/9/2018) sore, perjalanan menuju Kampar Kiri Hulu pun dimulai. Namun menjelang Lipat Kain (ibukota Kecamatan Kampar Kiri, sekitar 70 kilometer dari Pekanbaru), hujan turun cukup deras. Hati pun menjadi waswas. “Jangan-jangan hujan juga turun di hulu sungai Subayang. Kalau hujan, berarti air sungai naik dan kegiatan mencokau bisa-bisa batal,” begitu hati bergumam.
Untungnya hujan hanya sebentar, sekitar 30 menit saja. Ketika sampai di Desa Tanjung Belit, (110 km dari Pekanbaru), desa terakhir yang dapat dijangkau kendaraan roda empat, Agustinus Wijayanto, Livehood Manager Yapeka mengatakan, air sungai tidak terpengaruh hujan tadi. Permukaan air masih stabil dan rendah.
“Sepertinya besok pagi, saat berangkat ke Aur Kuning, kita harus turun ke sungai dan ikut mendorong piyau (perahu kayu tradisional bermesin). Lebih baik pakai celana pendek. Air sungai yang rendah, bisa membuat piyau kandas,” kata Agustinus.
Sungai Subayang adalah aliran air yang menghulu ke Sumatera Barat. Sungai itu berada di dalam wilayah ekosistem Suaka Margasatwa Bukit Rimbang – Bukit Baling, seluas 140.000 hektar. Secara umum airnya dangkal, berdasar batu kerikil, dan berair jernih. Pada saat kemarau, di beberapa lokasi, terjadi penyempitan aliran sehingga perahu sangat sulit melewatinya. Agar dapat lolos dari jebakan kandas, muatan di atas piyau harus dikurangi.
Pada Sabtu pagi, kondisi air sungai ternyata sudah berubah. Permukaan air naik sampai 50 centimeter dari sehari sebelumnya. Kembali muncul rasa was-was, jangan-jangan acara mencokau di Aur Kuning, benar-benar batal. Bagaimana mungkin memanen ikan kalau airnya tinggi?.
Namun, perjalanan menuju Aur Kuning tetap dilaksanakan. Dalam hati muncul ucapan, kalaupun mencokau batal, tidak apa-apa. Perjalanan menyusuri sungai dengan pemandangan hutan alam, di Sungai Subayang, sudah dapat mengobati hati yang galau. Memandang bukit hijau menjulang disana, dapat membuat jiwa terangkat setinggi tebing.
Setelah dua jam menikmati alam Sungai Subayang, piyau pun sampai di Aur Kuning. Rasa waswas kembali muncul. Persiapan mencokau justru tidak terlihat mencolok. Memang sudah ada cerucuk kayu dan bambu yang terpasang di sungai yang berfungsi sebagai bendungan sederhana agar ikan tidak keluar dari lubuk larangan.
Namun sekat bendungan itu masih jauh dari selesai. Lagi pula tidak terlihat warga yang bersiap-siap dengan peralatan mencokau di pinggir sungai.
Ternyata, seluruh ninik mamak, pemuda dan kepala desa sedang melakukan pertemuan di balai desa. Rapat membahas topik apakah mencokau dilanjutkan atau ditunda. Hal itu terkait dengan kondisi air sungai yang meningkat sekitar 30 cm – 50 cm.
Tidak berapa lama, Kepala Desa Aur Kuning, Damri (47) memberi kabar baik. Ia mengumumkan kepada khalayak, acara mencokau tetap dilaksanakan.
Puluhan lelaki dewasa dan anak muda segera turun ke sungai menyelesaikan bendung penyekat ikan. Bentuk sekat bendung itu meruncing ke sebuah sudut di air dangkal. Ada yang mengambil dahan pohon kayu hutan, pelepah kelapa dan berbagai bahan lain untuk membuat dinding cerucuk di badan sungai. Batu-batu sebesar kepala disusun di bawah cerucuk untuk menutup celah ikan untuk lolos.
Setelah dinding cerucuk selesai, bagian bawahnya dipasang jaring. Di sudut sekat bendung dipasang perangkap jaring. Tujuannya apabila Ikan-ikan yang mencoba melarikan diri dari kekacauan dari aktivitas warga mencokau dengan cara menjala, menjaring dan menembak ikan, akan terjebak di perangkap jaring.
Persiapan selesai. Acara mencokau dapat dimulai. Prosesinya diawali pembacaan doa kemudian disusul ninik mamak naik ke perahu di lubuk larangan untuk menebar jala. Setelah tiga kali menebar jala, terlihat tiga ekor ikan tersangkut di jaring tradisonal itu. Seorang ninik mamak memotong ikan pertama itu. Sebelah ikan dicampakkan ke sisi kanan sungai dan sebelahnya ke sisi kiri. Pelemparan potongan ikan itu adalah penanda bahwa mencokau untuk seluruh warga desa sudah dapat dilaksanakan.
Puluhan orang segera turun ke sungai, mengubek-ubek air dengan memakai jala, jaring atau alat panah yang berbentuk seperti senapan. Ikan yang ada di lubuk mulai panik dan mencoba berenang kesana kemari.
Sorak sorai warga terutama ibu-ibu dari tepian sungai mulai terdengar tatkala warga berhasil menangkap ikan dalam jumlah besar dalam satu tebaran jala atau jaring. Ikan lalu di bawa ke tepian untuk di kumpulkan dalam ember besar.
Di bagian ujung bendung sekat, tempat pemasangan perangkap jaring, pemandangan tidak kalah seru. Ratusan ikan yang mencoba melarikan diri terjebak di perangkap. Satu persatu ikan dimasukkan ke dalam karung dan dibawa ke tepian sungai.
Hanya sampai pukul 12.00, ikan yang berhasil ditangkap mencapai 200 kilogram. “Kalau air lebih surut, biasanya dalam sekali mencokau, kami dapat mengumpulkan ikan sampai 600 kilogram,” kata Damri.
Ikan hasil mencokau, kata Damri, akan dipisah. Sebagian ikan akan dibakar dan digoreng untuk dimakan bersama oleh ninik mamak, para tamu dan pencokau ikan di tepi sungai. Adapun ikan-ikan berukuran besar akan dilelang. Uang hasil lelang akan dimasukkan dalam kas desa.
Ikan tangkapan terbesar dari mencokau hari itu adalah jenis Sebarau (Hampala macrolepidota). Berat sebarau terbesar mencapai 2 kilogram per ekor. Ada pula ikan jenis kapiek atau tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) yang bentuknya seperti ikan bawal), dan ikan kecil sebesar jari kelingking yang disebut pantau.
Dalam lelang, Damri memenangkan ikan sebarau seberat 2 kilogram seharga Rp 1,05 juta. Ikan kedua yang sama besar laku seharga Rp 1 juta.
Warga yang tidak ikut lelang, masih dapat memakan ikan lubuk larangan dari iuran yang disebut andel sebesar Rp 15.000 per orang. Seluruh ikan yang tersisa akan dibagi rata berdasarkan andel yang disetor. Misalnya, kalau ada 100 warga yang menyetor andel, maka ikan sisa tangkapan akan dibagi 100 bagian.
Warga yang membayar satu andel akan mendapat satu tumpukan ikan. Semakin banyak ikan tangkapan, semakin besar pula pembagian ikan andel.
Menurut Akbar Rio Digdo, Direktur Eksekutif Yapeka, mencokau adalah kearifan lokal yang terbukti dapat melestarikan ikan-ikan yang dibeberapa daerah lain di Indonesia telah punah.
Buat warga di Sungai Subayang, mencokau adalah kegiatan bersenang-senang. Hari itu semua warga Aur Kuning masih dapat memakan jenis ikan yang tidak ditemukan lagi di sebagian besar wilayah Indonesia.