JAKARTA, KOMPAS - Utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun bukan merupakan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia atau BDNI, Sjamsul Nursalim, sehingga tidak pernah ditagihkan kepadanya. Dalam perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ini, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung mengaku tidak diuntungkan sama sekali dalam kasus ini sesuai dengan dakwaan jaksa.
Hal itu diungkapkan Syafruddin saat membacakan nota pembelaan berjudul ”Perjalanan Menembus Ruang Waktu Ketidakadilan dan Ketidakpastian Hukum”, Kamis (13/9/2018), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Syafruddin sempat terisak ketika membacakan pleidoi setebal 115 halaman itu.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Syafruddin bersama-sama Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira serta menerbitkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meskipun Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya karena memberikan aset yang bermasalah yang kemudian disebut misrepresentasi. Perbuatan itu dinilai telah memperkaya Sjamsul sejumlah Rp 4,58 triliun.
Dalam nota pembelaannya, Syafruddin membantah adanya misrepresentasi. Ia juga menampik telah melakukan kejahatan bersama Dorodjatun, Sjamsul, dan Itjih.
Menurut dia, kewajiban pengembalian utang BLBI berada pada BDNI. Penghitungannya pun dilakukan dengan cara mengurangi kewajiban (senilai Rp 47,7 triliun) dengan aset yang dimiliki BDNI (senilai Rp 18,85 triliun) sehingga tersisa Rp 28,4 triliun yang kemudian ditanggungkan kepada Sjamsul selaku pemegang saham.
”Saat itu, diselesaikan dengan membayar uang tunai Rp 1 triliun dan menyerahkan 12 saham perusahaan senilai Rp 27,4 triliun, termasuk Perusahaan Inti Dipasena senilai Rp 19,962 triliun. Utang petambak Rp 4,8 triliun bukan bagian dari kewajiban Sjamsul Nursalim, tetapi merupakan aset BDNI yang dipakai untuk mengurangi pembayaran BLBI dari BDNI,” ujarnya.
Atas dasar pembayaran ini, dikeluarkan dokumen release and discharge sesuai perjanjian master settlement and acquisition agreement atau MSAA-BDNI pada 25 Mei 1999 yang ditandatangani Deputi Kepala BPPN Farid Harianto dan Menteri Keuangan Bambang Subianto. Disebutkan juga bahwa pemerintah tak akan menuntut Sjamsul dan membebaskannya dari semua kewajiban terkait BLBI.
Pada 2002, sesuai keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dibentuk Tim Pengarah Bantuan Hukum dan Tim Bantuan Hukum serta menunjuk konsultan hukum. Upaya tim tersebut berbuah rekomendasi, antara lain pembayaran Rp 1 triliun, belum semuanya terpenuhi dan berujung pada pembayaran Rp 428 miliar, perlu penyempurnaan pengalihan aset sesuai MSAA, serta BPPN diminta melakukan valuasi atas aset yang diserahkan Sjamsul.
”Perlu dicatat bahwa baik LGS maupun TBH serta usulan TPBH/OC-BPPN ke KKSK tidak ada usulan untuk menagih utang petambak Rp 4,8 triliun kepada Sjamsul Nursalim karena utang petambak dalam perjanjian MSAA-BDNI bukan kewajiban yang harus dibayar atau diselesaikan oleh Sjamsul Nursalim,” tutur Syafruddin.
Ia juga membantah mengusulkan pengurangan utang petambak hingga tersisa Rp 1,1 triliun. Menurut dia, hal itu merupakan kesepakatan sejumlah pejabat yang hadir di sidang kabinet, bukan atas usulan dirinya. Ia juga menjelaskan tidak pernah menghapus utang petambak atau mengalihkan utang. Karena saat serah terima kepada PT PPA yang dilakukan Menteri Keuangan pada 2004 tersebut dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kepala BPPN. “Termasuk saat BPPN ke Menteri Keuangan,” kata Syafruddin.
Tak perkaya diri
Dalam kesempatan ini, Syafruddin juga menjelaskan dirinya tidak pernah menerima uang atau harta terkait dengan pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul. Di dalam persidangan tidak ada keterangan saksi, fakta, hingga alat bukti surat yang menunjukkan dirinya atau bahkan keluarga telah menerima suap atau gratifikasi dari Sjamsul.
“Bahkan persoalan tentang unsur memperkaya diri atau orang lain atau korporasi tidak pernah dibahas, ditanyakan, atau disampaikan semua saksi di persidangan ini. Untuk tindakan yang diduga memperkaya Sjamsul, kami tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berhubungan. Bagaimana bisa terdakwa didakwa memperkaya orang lain yang sams sekali tidak kenal dan dtidak pernah berhubungan, bahkan tidak ada penerimaan untuk diri sendiri,” ungkap Syafruddin.
Persoalan tentang unsur memperkaya diri atau orang lain atau korporasi tidak pernah dibahas, ditanyakan, atau disampaikan semua saksi di persidangan ini. Untuk tindakan yang diduga memperkaya Sjamsul, kami tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berhubungan. Bagaimana bisa terdakwa didakwa memperkaya orang lain yang sams sekali tidak kenal dan dtidak pernah berhubungan, bahkan tidak ada penerimaan untuk diri sendiri
Adapun nota pembelaan yang dibacakan Syafruddin merupakan pembelaan pribadi. Ketua Majelis Hakim Yanto memilih menunda nota pembelaan yang diajukan penasihat hukum yang hendak dibacakan. ”Mengingat sampai 500 halaman, pleidoi penasihat hukum ditunda Jumat (14/8),” kata Yanto sambil menutup sidang.