Prioritaskan Anggaran untuk Tingkatkan Mutu Guru
Lebih dari 60 persen anggaran pendidikan ditransfer ke daerah. Ada kecenderungan daerah menggunakan anggaran itu untuk infrastruktur pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS – Taraf pendidikan penduduk rata-rata di Indonesia meningkat. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk berusia lebih dari 15 tahun terus meningkat, dari 7,84 tahun pada 2015 menjadi 8,10 tahun pada 2017. Namun sejumlah masalah masih menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan, terutama terkait kualitas guru.
Berdasarkan hasil uji kompetensi guru (UKG), perolehan rata-rata nasional masih 53,02 (Kemdikbud, 2015). Nilai tersebut di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yaitu 55,0. Sebanyak 27 provinsi memiliki rata-rata nilai hasil UKG di bawah standar kompetensi minimal. Hanya ada tujuh provinsi dengan nilai hasil UKG di atas standar, yaitu Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Bali, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengatakan, perlu ada perubahan pola pikir yang menganggap peningkatan mutu pendidikan dinilai berdasarkan ketersediaan infrastruktur. Perencanaan alokasi anggaran yang memprioritaskan peningkatan kemampuan guru, siswa, dan penyediaan buku adalah keniscayaan.
Perlu ada perubahan pola pikir yang menganggap peningkatan mutu pendidikan dinilai berdasarkan ketersediaan infrastruktur.
“Mengubah pola pikir memang lebih rumit. Sering kali pembangunan infrastruktur pendidikan lebih diminati karena hasilnya cepat tampak dan bisa dihitung secara sederhana,” kata Totok di Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Totok mengatakan, salah satu pendekatan yang diberikan kepada pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan adalah melakukan pemetaan kebutuhan sekolah. Sarana fisik mendasar harus segera dipenuhi. Contohnya adalah ketersediaan ruang kelas, meja, kursi, toilet, WC, perpustakaan, dan laboratorium. Namun, sarana tambahan seperti pendingin udara, aliran internet, dan fitur hiasan sekolah tidak perlu segera dipenuhi karena tidak terkait langsung dengan mutu pembelajaran.
“Dana itu (bisa) digunakan untuk membiayai pelatihan guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru). Juga untuk memastikan buku teks maupun bacaan menarik bagi siswa tersedia di perpustakaan sekolah,” kata Totok.
Pemerintah berkomitmen menjalankan program wajib belajar 12 Tahun atau Wajar 12 Tahun di tahun 2022. Untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun, pemerintah pusat telah menganggarkan 20 persen biaya APBN untuk sektor pendidikan, yaitu sekitar Rp 444 triliun di tahun 2018.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen anggaran ditujukan untuk transfer daerah. Ini artinya pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan mempunyai kewenangan mengatur dana pendidikan yang diterimanya.
"Wewenangan pengelolaan sekolah sebenarnya ada di pemerintah daerah. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah berada di bawah pemerintah kabupaten/ kota, sementara sekolah menengah atas atau pun kejuruan ada di pemerintah provinsi," kata pengamat pendidikan Doni Koesoema saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Wewenangan pengelolaan sekolah sebenarnya ada di pemerintah daerah. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah berada di bawah pemerintah kabupaten/ kota, sementara sekolah menengah atas atau pun kejuruan ada di pemerintah provinsi.
Namun, katanya, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya ada 8 provinsi yang efektif menjalankan peraturan daerah terkait wajib belajar 12 tahun. Perlu ada regulasi yang kuat untuk mewajibkan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut, misalnya melalui Undang-Undang. Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya disebutkan pendidikan dasar hanya sampai 9 tahun, sehingga tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melakukan wajib belajar 12 tahun.
Prioritas daerah
Salah satu daerah yang memilah dan memilih prioritas penggunaan dananya untuk peningkatan kualitas pendidikan adalah Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Koordinator Forum Peduli Pendidikan Sumba yang juga Wakil Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya Umbu Lili Pekuwali mengatakan, pemerintah daerah memilih tidak melapisi lantai sekolah dengan keramik asalkan kompetensi guru terus diasah dan siswa dibuat tertarik untuk terus bersekolah.
“Lantai sekolah hanya berupa semen, tetapi guru-gurunya rutin ikut pelatihan dan menerapkan hasilnya di kelas. Dana juga dipakai untuk membantu guru membuat media belajar yang menyenangkan bagi siswa,” tutur Umbu.
Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Barat Daya Yohana Lingu Lango mengatakan, guru yang mangkir dari jadwal pelatihan di MGMP dan KKG akan dipotong tunjangannya. Demikian pula dengan pengawas sekolah yang tidak rutin melakukan pemantauan dan evaluasi di zona masing-masing.
Ia menjelaskan, dana pelatihan guru melalui MGMP dan KKG sudah dianggarkan di setiap tahun ajaran. Dinas bekerja sama dengan sekolah, terutama wakil kepala sekolah bidang kurikulum, menjadwalkan waktu pelatihan bagi para guru. Setiap guru mendapat pelatihan minimal satu dalam semester. Ditambah pula mereka membagi ilmu yang didapat dengan rekan-rekan di sekolah.
Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Fasli Jalal mengatakan, pelatihan selain menambah pengetahuan guru dalam materi pelajaran juga harus mengembangkan rasa percaya diri guru untuk membuat pola sesuai kebutuhan kelasnya. Pengawas dan kepala sekolah juga perlu diikutkan dalam pelatihan agar bisa memberi keleluasaan kepada guru dalam mengadaptasi materi kurikulum.
Menurutnya, pola pengajaran guru selama ini bersifat kejar target, yaitu membahas materi pelajaran sesuai jadwal bab yang ditentukan kurikulum. Bukan melihat dan memastikan siswa memahami materi. Dalam penerapan pengajaran materi, guru sangat terpaku kepada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang datang dari buku teks. Padahal, hal tersebut hanya merupakan contoh.
Hendaknya, setiap guru mampu mengenali permasalahan khas di kelas dan lingkungan sekitar sehingga bisa mengadaptasi materi di buku teks ke dalam pola pembelajaran yang unik untuk setiap wilayah.
“Kekakuan cara berpikir guru membunuh kreativitas. Sistem pembelajaran menjadi seragam, seolah tengah memproduksi barang di pabrik. Setiap wilayah punya permasalahan dan potensi solusi tersendiri yang bisa dimanfaatkan,” ujar Fasli.