JAKARTA, KOMPAS – Dalam sistem negara Indonesia yang demokratis, eksistensi Lembaga Penyiaran Publik sangat penting karena Lembaga Penyiaran Publik berfungsi untuk memenuhi hak konstitusional dalam rangka merawat kebinekaan, konektivitas informasi, dan edukasi. Karena itu, keberadaannya mesti dijamin dan diperkuat oleh undang-undang khusus.
Demikian salah satu butir pandangan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia dalam menyikapi tiga isu krusial penyiaran, yaitu kelembagaan RRI, Lembaga Penyiaran Khusus, dan Multipleksing. Di tengah alotnya pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, RRI menyampaikan pernyataan sikapnya dalam kertas posisi yang ditandatangani jajaran Dewan Pengawas RRI 31 Juli 2018.
“Kami menyampaikan kertas posisi sikap RRI terhadap tiga isu ini pada Hari Ulang Tahun RRU ke-73 kemarin,” kata Anggota Dewas LPP RRI, Hasto Kuncoro, Kamis (13/09/2018), di Jakarta.
Dalam kertas posisi tersebut, RRI merekomendasikan agar LPP harus dijamin dan diperkuat oleh undang-undang khusus. Karena itu, kehadiran UU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) harus menjadi momentum bagi penguatan LPP baik RRI maupun TVRI.
Sepakat Single Mux
Dalam penerapan digitalisasi penyiaran, RRI sepakat bahwa pelaksanaan digitalisasi penyiaran terestrial harus menggunakan model single mux di mana kanal frekuensi digital dikelola sepenuhnya oleh negara. Alasannya, model single mux sesuai dengan konstitusi pasal 33 UUD 45 yang mengamanatkan agar ranah publik yang sifatnya terbatas (termasuk frekuensi) harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebaliknya, digitalisasi penyiaran model multi mux dianggap berpotensi memunculkan monopoli pengelolaan kanal frekuensi karena hanya para pengusaha bermodal besar yang akan dapat menguasai kanal frekuensi. Karena itu, dengan penerapan model single mux, ke depan diharapkan LPP bisa menjadi representasi negara untuk menyelenggarakan multipleksing dan perolehan keuangan negara melalui digital deviden dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan LPP.
Pembiayaan LPP melalui digital deviden yang notabene adalah APBN non rupiah murni bisa berdampak terhadap menguatnya independensi LPP. Dengan kata lain, pada prinsipnya APBN tidak boleh menganggu independensi LPP karena APBN adalah sumber keuangan dari rakyat yang digunakan untuk kepentingan rakyat.
Dalam Kertas Posisinya, RRI juga mempertanyakan gagasan legislator yang dituangkan dalam draf RUU Penyiaran mengenai Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) yang tidak relevan bagi demokrasi. Keberadaan LPKh bertentangan dengan semangat demokrasi dan akan menimbulkan masalah kelembagaan, menjadikan lembaga penyiaran menjadi partisan, inefisiensi frekuensi, pemborosan uang negara, serta berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
“LPKh seharusnya tidak ada dalam sistem negara demokrasi. Kebutuhan LPKh seperti program pendidikan politik warga, ataupun sosialisasi kebijakan mestinya dapat dikanalisasi oleh LPP,” kata Hasto.
Terakhir, RRI juga memberikan pernyataan tegas bahwa gagasan untuk menjadikan Badan Layanan Umum (BLU) sebagai bentuk kelembagaan bagi RRI (juga TVRI) merupakan langkah mundur demokrasi sekaligus menurunkan kedudukan RRI dari lembaga independen menjadi perpanjangan tangan suatu kementerian/lembaga. Karena itu, gagasan untuk menjadikan RRI dan TVRI sebagai BLU harus ditolak karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi penyiaran.
“Kami mengambil sikap terhadap tiga isu di atas bukan untuk kepentingan RRI saja tapi lebih-lebih untuk melindungi kepentingan publik, bangsa dan negara,” tambahnya.
Diatur UU sendiri
Sebelumnya, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) juga menyusun RUU RTRI dan naskah akademik versi publik yang diluncurkan bulan lalu. Seperti gagasan yang dituangkan RRI dalam Kertas Posisinya, RPLPP juga berpendapat bahwa keberadaan UU RTRI yang berdiri sendiri dan terpisah dari UU Penyiaran diharapkan menjadi jawaban atas tuntutan revitalisasi RRI dan TVRI sebagai LPP yang kuat, independen, profesional, dan berstandar internasional.
Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus anggota Tim RPLPP mengungkapkan, di sejumlah negara maju, keberadaan LPP diatur melalui UU tersendiri. “Di Australia, misalnya, penyiaran publik diatur melalui ABC Act. Adapun BBC di Inggris diatur dengan Royal Charter,” kata dia.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Nina Mutmainah Armando juga menegaskan, prinsip independensi, netralitas, dan kewajiban memberikan layanan untuk kepentingan publik merupakan keniscayaan yang melekat pada LPP. Prinsip-prinsip ini harus benar-benar dijaga.
Karena bersifat independen dan netral, maka kerja sama antara LPP dan lembaga penyiaran khusus (LPKh), terutama LPKh partai politik, seperti tertuang dalam draf RUU Penyiaran versi 3 Oktober 2017, harus ditolak sebab berlawanan dengan prinsip LPP. Selain itu, wacana pelembagaan LPP menjadi badan layanan umum di bawah kementerian juga dianggap berlawanan dengan hakikatnya sebagai lembaga publik.