BEKASI, KOMPAS – Pencemaran Kali Bekasi sejak 2016 hingga saat ini semakin berat, karena sumber pencemaran tidak hanya berasal dari limbah domestik tetapi juga limbah industri. Padahal, air digunakan sebagai sumber air baku perusahaan daerah air minum.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi di Bekasi, Kamis (13/9/2018), mengatakan, kondisi Kali Bekasi semakin memprihatinkan. Dalam dua minggu terakhir, tanda-tanda fisik pencemaran seperti warna air sungai yang hitam pekat dan bau busuk tidak bisa terhindarkan.
Bahkan, pada Kamis ini, ribuan ikan sapu-sapu mati di Curug Parigi, Bantar Gebang, Kota Bekasi, yang masih merupakan bagian dari Kali Bekasi. Mereka mengapung di atas permukaan air sungai.
“Ikan sapu-sapu merupakan salah satu jenis ikan yang paling tahan terhadap pencemaran. Matinya ribuan ikan tersebut menandakan sudah tidak ada oksigen yang terkandung pada air Kali Bekasi,” kata Jumhana.
Selain itu, air sungai juga kerap berbusa saat mengalami turbulensi. Setidaknya terjadi tiga kali dalam satu bulan. Terakhir terjadi dua pekan lalu, Kali Bekasi dipenuhi busa seperti salju.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, indeks pencemaran di Kali Bekasi memburuk sejak tiga tahun yang lalu. Pada 2016, pemeriksaan laboratorium lingkungan pada sampel dari sembilan titik menunjukkan, semuanya tercemar kadar ringan. Tahun 2017, pengujian di sembilan titik yang sama, hanya ada satu titik yang tercemar ringan, delapan titik tercemar sedang. Sebanyak 60 persen pencemaran disebabkan oleh limbah domestik.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Kustantinah mengatakan, berdasarkan pengujian laboratorium lingkungan pada semester pertama 2018, dari sembilan titik yang sama ditambah beberapa titik berdasarkan kasus luar biasa, semuanya masuk kategori tercemar sedang. Di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi, kondisi air tidak memenuhi standar baku mutu.
Menurut Kustantinah, saat ini pencemaran tidak hanya disebabkan oleh limbah domestik, tetapi juga limbah industri. Hal tersebut tampak dari kematian ribuan ikan sapu-sapu di Curug Parigi. Hingga saat ini, terdapat 18 perusahaan yang diawasi karena berada di bibir sungai.
“Normalisasi atau restorasi Kali Bekasi harus segera dilakukan, karena air sungai masih menjadi sumber air baku PDAM,” kata Kustantinah. Menurut dia, biaya operasional yang dibutuhkan PDAM akan semakin besar untuk mengolah air yang tercemar. Selain itu, ikan yang hidup di Kali Bekasi masih digunakan sebagai salah satu sumber makanan warga. Hal tersebut jelas mengancam kesehatan.
Kali Bekasi merupakan gabungan dari Kali Cikeas dan Kali Cileungsi. Hulunya berada di Kabupaten Bogor, mengalir sepanjang 6 kilometer di Kota Bekasi, dan hilirnya berada di Kabupaten Bekasi. Air yang mengalir dari Kabupaten Bogor sudah menghitam, tanda tercemar. Oleh karena itu, kata Jumhana, normalisasi tidak bisa dilakukan oleh pemerintah di daerah masing-masing melainkan oleh pemerintah pusat.
Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) untuk mengajukan normalisasi. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sudah diurus sejak 2015, namun normalisasi belum dimulai hingga saat ini.
“Upaya yang bisa dilakukan oleh Kali Bekasi adalah membuat gerakan bersih-bersih kali,” ujar Jumhana. Mulai Oktober mendatang, seluruh pemangku kepentingan akan dilibatkan untuk mengeruk dan mengangkut sampah yang ada di Kali Bekasi.