JAKARTA, KOMPAS — Tahun depan skema pembiayaan, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan dan subsidi selisih bunga, masih akan dijalankan meskipun Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera sudah mulai beroperasi. Namun, skema pembiayaan tersebut akan dilebur ke dalam Tapera pada 2020.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Lana Winayanti di Jakarta, Rabu (12/9/2018), menyatakan, baik Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) maupun Tapera masih berjalan sendiri-sendiri tahun depan. Namun, FLPP sudah digabung dengan Tapera pada 2020. Harapannya tidak ada dana dobel untuk tujuan yang sama, yakni untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Jika tahun ini jumlah rumah subsidi yang dibiayai dengan skema FLPP ditambah jadi 70.000 unit, tahun depan akan ditambah jadi 150.000 unit. Anggarannya direncanakan Rp 12 triliun. Sebaliknya, target pembiayaan berskema subsidi selisih bunga (SSB) akan dikurangi dari 225.000 unit tahun ini menjadi 100.000 unit tahun depan.
Adapun anggaran Tapera yang direncanakan mulai beroperasi tahun depan dialokasikan Rp 4,3 triliun untuk 36.000 rumah. Saat ini pemerintah masih dalam proses seleksi pemilihan komisioner dan Deputi Komisioner Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).
Menurut Lana, alokasi anggaran SSB dikurangi karena memang dibuat hanya sebagai solusi sementara. Sebab, SSB dirancang untuk mendukung skema FLPP yang tahun lalu dikurangi alokasi anggarannya. Namun, karena merupakan subsidi, skema SSB akan menjadi beban fiskal pemerintah. Sementara skema FLPP merupakan dana bergulir. ”Jadi ini semua dalam rangka efisiensi dan lebih tepat sasaran,” ujar Lana.
Ke depan, lanjut Lana, Tapera akan dilengkapi dengan skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Skema tersebut diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan penghasilan tidak tetap atau informal. Mereka diminta untuk menabung hingga memenuhi jumlah tertentu, kemudian pemerintah akan membantu dana sebagai uang muka pembelian rumah. Skema tersebut memakai bunga pasar, bukan bunga yang ditetapkan pemerintah.
Tahun ini, skema BP2BT sudah dimulai dengan membuat proyek percontohan di beberapa kota dan bekerja sama dengan lima bank pelaksana. Lana berharap, skema tersebut dapat menjadi alternatif bagi masyarakat serta melengkapi skema pembiayaan yang sudah ada.
Secara terpisah, pemerhati habitat dan permukiman Tjuk Kuswartojo mengatakan, konsep Tapera tepat sebagai cara memobilisasi dana masyarakat untuk pembangunan perumahan. Namun, masalah di Indonesia pertama-tama bukan tentang skema pembiayaan, tetapi lebih pada belum jelasnya konsep pembangunan perumahan. Indonesia belum punya kebijakan perumahan yang kuat.
Menurut Tjuk, jika skema pembiayaan seperti FLPP digabung ke Tapera, pengelolaan keuangannya mungkin akan lebih terarah. BP Tapera juga dimungkinkan membuat skema pembiayaan yang lebih spesifik, semisal memberi pinjaman ke pemerintah daerah untuk mengendalikan harga lahan. Sebab, harga lahan jadi masalah mendasar penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.