JAKARTA, KOMPAS – Kasus tawuran antarpelajar kembali mencuat saat ini, terutama di sejumlah kota besar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, sedikitnya terjadi empat tawuran dalam tiga minggu terakhir. Salah satu kejadian sampai menimbulkan korban jiwa. Kualitas pola asuh keluarga yang buruk dinilai menjadi penyebab tawuran masih terjadi.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati di Jakarta, Rabu (12/9/2018), menyampaikan, penyebab tawuran pada pelajar karena pola asuh yang kurang tepat. Hubungan pola asuh orangtua dengan tawuran ini bisa dilihat dari waktu kejadian tawuran yang biasanya terjadi di luar jam sekolah. Selain itu, tidak sedikit pelajar yang menggunakan benda tajam saat melakukan tawuran.
Hubungan pola asuh orangtua dengan tawuran ini bisa dilihat dari waktu kejadian tawuran yang biasanya terjadi di luar jam sekolah.
“Kontrol orangtua kepada anak berarti kurang. Pengasuhan orangtua dalam konteks pencegahan tawuran jadi kata kunci yang perlu ditekankan,” katanya.
Tercatat sejak Kamis, 23 Agustus 2018 hingga Sabtu, 8 September 2018 telah terjadi empat tawuran di tempat berbeda, yaitu di Permata Hijau Jakarta, Kolong Tol JORR Jakarta, Jalan Cileduk Raya wilayah Kreo Tangerang, dan Jalan Cileduk Raya wilayah Kota Tangeran. Untuk kasus tawuran di Permata Hijau Jakarta sampai menimbulkan korban meninggal, yaitu AH (16 tahun).
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menambahkan, pola tawuran antarpelajar biasanya dipicu oleh masalah sepele seperti saling ejek dan merundung (bully) di media sosial. Tidak jarang pula, kelompok pelajar yang akan tawuran sudah menentukan tempat dan waktu tawuran yang disampaikan melalui media sosial.
“KPAI pun mendorong agar orangtua dan guru harus memiliki media sosial serta memantau media sosial anaknya. Upaya ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya tawuran,” ujar Retno.
Berdasarkan data di bidang pendidikan, kasus tawuran pelajar yang tercatat di KPAI sebenarnya menurun. Pada 2014 tercatat 24 persen tawuran di bidang pendidikan dan menurun di tahun berikutnya, yaitu 17,9 persen (2015), 12,9 persen (2016), dan 12,9 persen (2017).
Sel tahanan sekolah
KPAI dan Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kepulauan Riau menerima laporan terkait adanya sel tahanan di sebuah SMK swasta di Batam, Kepulauan Riau. Siswa bisa ditahan selama dua hari di sel tahanan ini.
“Dalih penahanan di sel tahanan ini disampaikan pihak sekolah untuk mendisiplinkan siswa,” kata Ketua KPAI Susanto.
Ia mengatakan, atas dasar laporan tersebut KPAI akan melakukan rapat koordinasi dengan gubernur dan organisasi perangkat daerah (OPD) setempat. KPAI pun akan datang langsung ke sekolah untuk melakukan pengecekan.
Selanjutnya, KPAI bersama Dinas Pendidikan dan Inspektorat Provinsi Kepulauan Riau akan melakukan investigasi keberadaan SMK ini. Hasil investigasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan terkait permasalahan yang tejadi. “Sanksi paling berat adalah pencabutan izin operasional sekolah,” ujarnya.
Komisioner Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum KPAI Putu Elvina mengatakan, kasus terakhir yang dilaporkan ke KPPAD Kepulauan Riau, RS (17), salah satu siswa SMK tersebut mengalami kekerasan fisik sampai tangannya diborgol. Hukuman fisik lain yang dialami RS yaitu berjalan jongkok di area sekolah.
“Saat ini, sel tahanan yang berada di sekolah tersebut sudah dibongkar oleh tim gabungan yang berada di Kepualuan Riau. KPAI juga mendorong dinas pendidikan setempat untuk mendampingi perbaikan dan perubahan pola pendidikan di SMK. Kasus ini menandakan kurangnya pengawasan dinas pendidikan,” kata Putu.