Penyandang Disabilitas Belum Dilibatkan dalam Rencana Pembangunan Nasional
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang disabilitas masih belum dilibatkan dalam proses pembangunan nasional. Padahal, mereka juga mempunyai hak untuk menikmati hasil pembangunan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Saat ditemui di Jakarta, Kamis (13/9/2018), Penasihay Senior Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Rohidin Sudarno mengatakan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia cukup besar, tetapi masih belum mendapatkan perhatian khusus.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik melalui Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2005, penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 21,5 juta jiwa atau 8,56 persen dari total penduduk Indonesia.
Manajer Program Peduli Disabilitas Nurjanah mengatakan, penyandang disabilitas sering menghadapi keterbatasan akses untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan, politik, kesehatan, pendidikan, dan mendapatkan pekerjaan yang layak. “Mereka menjadi bagian dari kelompok yang rentan dan sering ditinggalkan dalam perumusan kebijakan,” kata Nurjanah.
Menurut Nurjanah, masih banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah belum ramah disabilitas. Padahal, pemerintah memiliki Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung yang mengatur tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
“Apabila bangunan tersebut ramah bagi penyandang disabilitas, maka akan nyaman juga ketika digunakan orang normal,” kata Nurjanah. Ia menjelaskan, ramah disabilitas memiliki arti penyandang disabilitas tidak mengalami hambatan ketika beraktivitas di tempat tersebut.
Ia menuturkan, beberapa bangunan di Jakarta, khususnya fasilitas transportasi masih belum ramah disabilitas. Sebagai contoh, tangga stasiun kereta api dan halte Transjakarta yang sangat tinggi sehingga membahayakan penyandang disabilitas.
Diskriminasi
Diskriminasi juga sering dialami oleh penyandang disabilitas. Sebagai contoh, penyandang disabilitas yang masuk kategori cum laude dalam pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil dimasukkan pada kategori disabilitas. Padahal, mereka memiliki kemampuan yang lebih. Akibatnya, kemampuan mereka tidak dapat tersalurkan atau pekerjaan mereka tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Program Officer Pattiro, Wawanudin menambahkan, diskriminasi juga dialami penyandang disabilitas terkait dengan pendataan. Beberapa kantor pemerintah daerah tidak memiliki data yang jelas sesuai dengan nama dan alamat penyandang disabilitas.
Di beberapa kantor pelayanan publik juga ditemukan tidak adanya fasilitas atau alat bantu untuk penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka kesulitan mengurus administrasi. Salah satu contoh yang sering dialami penyandang disabilitas, yaitu mereka kesulitan dalam mengurus kartu tanda penduduk (KTP). Di beberapa daerah, terdapat penyandang disabilitas yang tidak memiliki KTP dan kartu keluarga.
Rekomendasi
Pattiro mendorong pemerintah agar dapat memenuhi hak-hak setiap penduduk, termasuk penyandang disabilitas sesuai dengan amanat UUD 1945. Saat ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang menyusun latar belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Mereka berharap, pemerintah memasukkan beberapa pertimbangan yang memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas. Diantaranya, pendataan penyandang disabilitas agar lebih akurat dan rinci sesuai dengan nama serta alamatnya. Data tersebut dapat dimasukkan secara eksplisit dan spesifik dalam RPJMN 2020-2024.
Penerapan kewajiban bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik agar ramah pada penyandang disabilitas. Selain itu, kuota 2 persen bagi penyandang disabilitas sebagai aparatur sipil negara (ASN) dari jumlah ASN keseluruhan agar dipenuhi.
Rohidin percaya, hak-hak penyandang disabilitas akan terpenuhi ketika pemerintah melibatkan mereka dalam program pembangunan nasional. “Mereka tidak mengharapkan bantuan sosial terus-menerus, tetapi ingin hak-haknya terpenuhi,” ujarnya.