Lari Juga Ada Ilmunya...
Garis finis adalah garis kemenangan.
Matias Ibo tiba di garis finis Maybank Bali Marathon (MBM) 2018 di Bali Safari, Gianyar Bali yang berlangsung Minggu, 9 September 2018. Dia langsung mengambil sikap berdoa dan mengangkat satu tangannya sebagai ucapan syukur. Setelah itu berfoto dengan bendera komunitas larinya. Seperti juga Matias, sejumlah peserta meluapkan kegembiraanya dengan berbagai cara. Mengangkat tangan, bersujud, tertawa, dan tak lupa berswafoto atau meminta temannya. Petugas garis finis berulang kali mengingatkan para pelari agar tidak berfoto di jalur pelari masuk.
“Always finish and happy,” kata Matias sambil tertawa.
Maybank Bali Marathon (MBM) yang berlangsung untuk ketujuh kalinya ibarat magnet bagi para pelari Indonesia. Ajang ini sering dijadikan para pelari hobi untuk melunaskan hajatnya. Mereka yang belum pernah ikut race, mencoba mengikuti race pertamanya di kategori 10 Kilometer (10K). Begitu pula mereka yang belum pernah half marathon (21K) ataupun full marathon (42,195K) akan melepas “keperawanannya” (virgin marathon) di ajang yang oleh majalah Runner’s World sebagai “One of The 52 Best Races on Earth 2016” itu.
Begitu pula bagi mereka yang pernah berlari di ajang maraton sebelumnya, mereka menjadikan MBM untuk menciptakan waktu pribadi terbaik, (personal best atau PB). Walaupun banyak di antaranya, lebih banyak PB, photo banyak.
Menurut CEO Maybank Indonesia Taswin Zakaria, jumlah peserta tahun ini yang hampir 10.000 orang meningkat 12,9 persen dibandingkan dengan jumlah peserta MBM 2017 sebanyak 9.367 pelari. Penyelenggara menyadari, jika para pelari di MBM lebih banyak yang ingin lebih dari sekadar berlari, dan menikmati wisata di Pulau Dewata itu. “MBM tetap menjadi ajang untuk berlari dalam suasana nyaman dan gembira,” kata Taswin.
Banyak pelari yang menjadikan MBM sebagai menu wajib maraton yang harus diikuti dalam kalender lari tahunannya. “Saya ikut Bali Marathon sejak 2012 dan tahun ini untuk ke tujuh kalinya,” kata Amung Makmur, pelari dari Bogor. Seperti juga pelari lainnya, Bali disukai karena mereka tidak hanya berlari tetapi juga sekaligus bisa menikmati wisata di Pulau Dewata itu. “Sambutan di sepanjang jalur juga unik dan memberi semangat,” kata Amung.
MBM 2018 kali ini merupakan kali kedua menggunakan rute baru setelah lima tahun sebelumnya menggunakan rute lama. Perubahan rute tersebut antara lain dimaksudkan agar pelari yang pernah berlari di MBM sebelumnya mendapat pengalaman baru. Walaupun bagi sebagian pelari, rute baru itu lebih menantang, bagi sebagian pelari lainnya rute dengan banyak tanjakan lebih merupakan “siksaan”. Semua kategori lari mendapat menu tanjakan sesuai porsinya masing-masing. Mereka yang mengambil 10K pun lebih banyak yang gerak jalan antara kilometer 4-5 sehingga mereka yang sudah memutar, termasuk kategori 21K, berebut jalur saat turun. Apalagi mereka yang mengambil kategori maraton maupun 21K, mereka harus termehek-mehek dan mengatur langkah di sejumlah tanjakan di beberapa ruas kilometer.
Bukan hal gampang memadukan unsur sport dan wisata, terutama dari sisi pelari. Di satu sisi, kehadiran sekitar 10.000 orang pelari—belum termasuk yang membawa keluarganya--memberi manfaat bagi dunia wisata. Namun di sisi lain, kekurangsiapan pelari untuk menghadapi lomba sekelas MBM merupakan pekerjaan rumah sendiri. Walaupun sudah berupaya keras memberi pelayanan yang baik untuk pelari, penyelenggara lomba harus menghadapi kenyataan banyaknya para pelari cedera karena “belum saatnya” menempuh jarak maraton, misalnya.
Dari data yang sempat disampaikan Taswin, tecatat 43 persen pelari peserta MBM tahun lalu menyelesaikan maratonnya di atas waktu 6 jam. Bahkan, sejumlah lainnya tidak menyelesaikan misinya atau finis di atas batas yang yang ditentukan (cut off time) yakni 7 jam.
Berakhir “penyok”
Tidak semua pelari, menikmati “victory finish” seperti Matias dan lainnya. Sejumlah pelari lainnya tampak begitu tersiksa memasuki garis finis, terutama mereka yang mengambil kategori full marathon atau half marathon. Kebalikan dari pelari yang finished strong, pelari-pelari jenis ini memasuki garis finis dengan wajah meringis, terpincang-pincang karena cedera otot ataupun kram. Beberapa di antaranya sudah tidak mampu meneruskan langkahnya ke refreshment area. Petugas mengangkatnya dengan tandu ke tenda medis.
Suasana di tenda medis lebih mirip tenda pengungsian karena seluruh dipan terisi pelari yang cedera. Petugas medis berusaha keras menangani mereka. Seorang pelari yang cedera tampak kram seluruh badannya. “Tolong bantu saya….” katanya mengerang. Tangannya dan jari-jarinya kaku, begitu juga kakinya tak bisa digerakan. Petugas medik memutuskan untuk membawa pelari itu ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
Menurut salah seorang pelatih lari dari Runner’s Nation Andri Yanto, mereka yang cedera atau “penyok”--istilah untuk pelari yang babak belur saat finis-- umumnya terjadi pada para pelari yang kurang tepat latihannya. “Kalau latihannya cukup dan strategi lombanya tepat maka faktor kram misalnya, bisa dihindari atau setidaknya diminimalisasi,” kata coach banyak menangani pelari kantoran ini.
Untuk menjalani sebuah lomba maraton sebenarnya tidak gampang. Seorang pelari membutuhkan waktu setidaknya 16 pekan untuk menjalani program latihan. Mereka yang sudah berpengalaman pun membutuhkan waktu 12 pekan dengan latihan rutin secara baik. “Aduh ngeri banget, banyak banget yang awam,” kata Andri.
Minim dan tidak disiplin latihan, kurangnya pengetahuan mengenai lari, nutrisi hingga “racun” dari pelari yang lebih senior menyebabkan pelari mula menghadapi risiko cedera hingga kematian. Tekanan teman-teman atau peer group menjadi salah satu penyebab pelari awam terjerumus ke anggapan bahwa semua orang bisa maraton. Kompas yang mengikuti empat kali MBM, dan pada MBM 2018 kali ini mengambil kategori 10K, banyak mengundang pertanyaan.
“Kok enggak maraton? Ngapain jauh-jauh ke Bali hanya lari segitu? Ngotor-ngotorin jersey aja,” adalah pertanyaan yang umum diajukan teman-teman pelari. Semua orang mungkin bisa maraton. Akan tetapi untuk itu banyak catatan atau langkah yang harus ditempuh. Lagi pula, tidak perlu semua orang harus maraton, bukan?
Kurangnya pemahaman atau pengetahuan mengenai lari serta berbagai pendukungnya menjadi penyebab banyaknya pelari cedera. Kurang istirahat, tidak tidur, asupan nutrisi kurang, mengabaikan hidrasi merupakan sejumlah faktor yang pelari mengalami cedera, bahkan kematian.
Kondisi cuaca di area MBM 2018 Gianyar dan sekitarnya, hari Minggu itu dengan suhu 30-31 derajat Celcius dengan kelembaban tinggi misalnya, membuat pelari yang minim hidrasi berisiko terserang heat stroke. Kekurangan cairan atau dehidrasi pada tubuh bisa membahayakan si pelari. Dia bisa mengantuk bahkan penurunan kesadaran. Jika yang bersangkutan sampai terjatuh dan kepala terbentur aspal, bukan tidak mungkin berakhir maut.
Saatnya pengetahuan mengenai cara berlari yang benar serta pengetahuan pendukungnya mulai disosialisasikan kepada para pelari. Jangan sampai mereka tumbuh sendiri dengan pemahaman yang salah karena “salah kaprah” ilmu dari sejumlah pelari yang lebih dulu berlari. Olah raga lari yang seharusnya menyehatkan malah cenderung mengundang risiko cedera bahkan fatal. Tidak sedikit dari mereka melakukan maraton sesering mungkin, atau bahkan berlari ultra hanya bermodal nekat, yang bukan tidak mungkin bisa berakhir konyol.
Di tengah euforia olah raga lari dengan ajang lari yang bak jamur di musim hujan, setiap minggu selalu ada 2-3 race di tempat yang sama, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Penyelenggaraan lari seperti dibiarkan tumbuh dengan sendirinya. Saatnya PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) lebih aktif berperan, memberi pengetahuan kepada masyarakat lebih melek pengetahuan berlari.